Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Brahmana Palsu Masuk Islam

26 November 2012   20:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:38 9533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_211510" align="aligncenter" width="583" caption="Ida Bagus Mayura (kiri) dan Ketua KISPA, Ustaz Ferry Nur (kanan). (Sumber: http://m.republika.co.id)"][/caption]

Om Namah Shiwa Ya

Om Sujud Pada Tuhan Yang Maha Pemurah

Senin malam (26/11/2012) saya diinbox oleh Ibu Yuni. Beliau memberi sebuah link tentang seorang “Ida Bagus Mayura, Menjadi Brahmana Muslim”. Ida Bagus Mayura ini berasal dari kabupaten Negara, Bali. Asal Ida bagus Mayura dapat diketahui dari pernyataan berikut “Mayura masuk dari bisnis pertanian yang dibangunnya di Negara, Bali. Negara dikenal sebagai daerah kantong Muslim di Pulau Dewata” (Republika, 20 November 2012).

Sebenarnya saya tidak tertarik untuk mengklik link yang diberikan karena saya anggap hal itu hal yang biasa. Sudah merupakan kegemaran kaum muslim membesar-besarkan kabar kalau ada orang Hindu masuk Islam. Padahal lebih banyak umat Islam yang pindah agama, entah itu menjadi Hindu, Budha, Kristen dan bahkan mungkin menjadi Atheis.

Seperti yang kita ketahui, penduduk Indonesia semakin bertambah, tetapi ternyata populasi umat Islam di Indonesia terus terjadi penurunan setiap tahunnya. Dari semula mencapai 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia, secara perlahan namun pasti populasi umat Islam terus berkurang menjadi 92 persen, kemudian tahun berikutnya menjadi 90 persen dan kemudian menjadi 87 persen, hingga kini anjlok menjadi 85 persen. Hal ini menyebabkan MenteriAgama RI, Suryadharma Ali sangat prihatin atas penurunan populasi umat Islam di Indonesia yang katanya terbesar di dunia.

Menurut informasi yang saya pernah baca, orang-orang Jawa khususnya banyak yang kembali kepada agama leluhurnya tetapi tidak begitu diekspose ke media, hanya majalah media Hinduyang pernah mengekspose. Itupun hanya menjadi berita kecil, tidak dibesar-besarkan. Yang masuk Hindu bahkan berbondong-bondong. Tetapi kalau orang Hindu masuk Islam, satu orang saja sudah terekspose. Orang yang pindah agama sebenarnya tak perlu dipamerkan ke media, apa sih untungnya? Memangnya mau pasang iklan biar laris dagangannya?. Kalau demikian berarti agama pasar?.

Kembali pada topic, disini saya akan menanggapi beberapa pernyataan yang saya anggap perlu diluruskan maupun dikomentari, seperti yang dimuat pada situs berita Republika online.

“Menjadi bagian dari kasta Brahmana dalam sistem sosial masyarakat Bali adalah sesuatu yang istimewa” (Republika, 20 November 2012).

Dari pernyataan diatas tampaknya Ida Bagus Mayura bangga menjadi kasta Brahmana. Beberapa kelompok masyarakat Hindu memang masih menganggap kasta Brahmana sebagai orang yang dihormati. Namun sejatinya apabila ditelusuri berdasarkan ajaran veda, mereka yang mengaku kasta Brahmana padahal ia tidak memahami dan mengetahui veda termasuk orang-orang calon penghuni neraka karena tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang Brahmana sesuai ketentuan Veda. Dimana seorang Brahmana setidaknya ia adalah seorang Dvija maupun vipra “orang yang paham dan mengetahui veda”, seorang brahmana adalah ia yang sudah me-dwijati (lahir dua kali) di Bali disebut sulinggih. Namun faktanya banyak orang yang mengaku dari golongan Brahmana tetapi sama sekali tidak mengetahui veda, bahkan diperparah seorang yang mengaku Brahmana tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ajaran Hindu, apalagi menceriminkan seorang sulinggih (Brahmana), tidak pula me-dwijati.

Kedudukan seorang Brahmana memang special tetapi hanya bagi mereka yang benar-benar Brahmana. Brahmana artinya mereka yang mengetahui ajaran Tuhan (Brahma/brahman). Seorang Brahmana memiliki tugas-tugas yang suci, seperti memimpin upacara keagamaan, mengajarkan Veda, memutus perkara (brahmana Vipra), dan lain sebagainya.

Di Bali maupun di India telah terjadi penyimpangan konsep Catur Varna menjadi kasta, namun hal ini telah dihapuskan berdasarkan BHISAMA SABHA PANDITAPARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSATNomor : /Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002TentangPENGAMALAN CATUR WARNA. Sehingga kasta tidak lagi berlaku di Bali, namun yang berlaku adalah Catur Varna. Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas "guna" dan "Karma" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa.

“Mayura merasakan ketertarikan akan Islam sejak kecil. ‘Itu karena sekolah saya dekat masjid. Saya perhatikan pola penyembahan Tuhan dalam Islam sangat mudah. Tidak perlu repot-repot menyediakan bunga atau membakar dupa. Di Islam tinggal pakai sajadah, tanpa ada perantara apa pun lagi,’ katanya” (Republika, 20 November 2012).

Setiap agama memiliki cara-cara sembahyang tersendiri dan juga memiliki kerumitan-kerumitan dalam melaksanakan ibadah. Salah satu kesulitan bagi seorang muslim adalah kewajiban untuk naik haji, tak jarang hingga jual tanah agar bisa naik haji. Biaya yang dibutuhkan minimal 30 juta. Susah payah mencari kekayaan hanya untuk naik haji ke tanah suci Tuhan? konon ada ketentuan hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu.

Kalau dilihat rumitnya, agama apapun ibadahnya rumit, tetapi kalau dilakukan dengan iklas semua tampak mudah. Dalam hal ibadah Islam memang tampak mudah tetapi sebenarnya lebih mudah lagi dalam pandangan Hindu kalau mau anda memahami Hindu itu sendiri. Dalam ajaran Hindu dikenal ada empat jalan mencari Tuhan yang disebut Catur Marga/Catur Marga Yoga ; Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, Yoga Marga.

Contoh misalnya Karma Marga, “Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk” (Binroh Hinbud, tentang ” Pokok-PokokAjaran Hindu” ). Sangat jelas disini bahwa seseorang dengan berbuat baik, berperilaku sesuai hukum agama, mengabdi demi kepentingan orang banyak, segala perilakunya dipersembahkan sebagai wujud bhaktinya kepada Tuhan. Dengan cara ini saja sudah termasuk beribadah kepada Tuhan, tidak perlu susah-susah membuat ritual, apalagi yang besar-besar, tidak perlu tunggang-tungging menyembah Tuhan, yang terpenting bagaimana seseorang mampu berbuat baik, iklas, mengabdi demi kepentingan orang banyak, mempersembahkan segala perbuatannya sebagai bentuk bhaktinya kepada Tuhan.

“Dia juga menyukai suara azan. ‘Saya merinding setiap kali mendengar azan,’ kata pria kelahiran 4 Desember 1964 tersebut” (Republika, 20 November 2012).

Biasanya orang yang demikian tidak taat pada ajaran agamanya, namun ketika ia mendengar lantunan nama suci Tuhan merasa tersentuh hatinya. Terkadang tidak hanya merinding mendengar lantunan nama-nama suci Tuhan (nama smaranam), banyak pula orang hingga menangis apabila merenungkan dan menyanyikan nama suci Tuhan.

Coba nyanyikan mantram berikut dengan nada berirama “Om Namah Shiwa Ya, Shiwa Ya Namah Om” lantunkan berulang-ulang dengan keras di tempat suci minimal 108 kali dan renungkan keagungan Tuhan, renungkan kesalahan kita, maka saya yakin anda bisa menangis kalau menyanyikannya dengan sungguh-sungguh dengan irama yang indah dan merdu.

“Kesederhanaan ibadah dalam Islam juga tampak dari proses penguburan jenazah. ‘Kalau meninggal cukup pakai kafan lalu langsung dimakamkan. Tidak perlu tunggu hari baik untuk menguburkan jenazah. Kalau hari baik baru ada tiga bulan ke depan, bagaimana ruhnya. Sudah jadi mayat saja masih repot. Namun, Islam berbeda,jelasnya” (Republika, 20 November 2012).

Dalam ajaran Islam, memang tidak mau repot dengan badan yang sudah menjadi bangkai. Hal ini tidak terlepas dari dogma bahwa pada hari kiamat akan dibangkitkan tubuhnya dan diadili pada sidang di istana langit (surga). Yang jahat masuk neraka, yang baik masuk surga, tetapi bagaimana nasibnya kalau setengah jahat setengah baik?.

Orang-orang islam yang meninggal, rohnya dibelenggu di alam kubur hingga hari kiamat, baik yang meninggal jaman dahulu maupun yang meninggal nanti di kemudian hari, termasuk Nabi Muhamad SAW dan sang nabi tidak diketahui apakah masih di alam kubur ataukah sudah masuk surga?.

Mengubur orang dengan mencari hari baik itu perlu karena hal ini berkaitan dengan pengabenan seseorang, tetapi tak sampai menunggu berbulan-bulan untuk mencari hari baik mengubur, tiga hari setelah kematiannya saja sudah ada hari baik.

Selain itu pula dalam pandangan Hindu, orang yang meninggal orang yang tidak diaben nasibnya seperti roh orang-orang Islam. Rohnya masih bergentayangan, entah itu di alam kubur maupun di alam lain. Tetapi dengan adanya ngaben (kremasi) diharapkan roh orang tersebut terlepas dari tubuh atau badan kasarnya, entah kemudian masuk neraka atau masuk surga atau bahkan moksa (bebas dari kelahiran dan kematian). Umumnya orang yang diaben dikatakan masuk surga, kemudian setelah itu bereinkarnasi ke bumi lagi untuk memperbaiki karma/rehabilitasi agar bisa moksa nantinya.

“Mayura bahkan pernah diam-diam mengikuti acara sunatan massal yang diadakan di kampungnya saat itu” (Republika, 20 November 2012).

Sunatan digembar-gemborkan, apalagi sunat masal hanya karena menghindari biaya mahal. Menurut teman diskusi pernah ada yang mengatakan bahwa sunat/khitan masih diperdebatkan antara wajib atau hanya pilihan.

Khitan atau sunat bagi anak laki-laki sebagian besar sebenarnya tidak perlu dan berisiko medis. Manusia diberi tubuh yang lengkap dan matipun dengan tubuh yang lengkap. Sehingga sangat tidak masuk akal kalau kulup penis kemudian dipotong sedangkan kulup penis berfungsi untuk melindungi penis. Apabila kulup penis bertambah panjang seperti kuku dan rambut, hal ini wajar dipotong, masalahnya kulup penis tidak bertambah panjang seperti rambut dan kuku. Kalaupun demi kebersihan, memangnya kaum muslim tidak mencucinya setiap mandi?.

"Saya menghidupi diri saya sendiri. Untungnya, dari dulu saya senang usaha," tutur alumnus SMA 17 Agustus 1945, Jakarta, ini. (Republika, 20 November 2012).

Ternyata bersekolah dilingkungan mayoritas toh? Orang yang diluar didikan orang tua memang rentan dengan perpindahan agama terlebih lagi berada dikalangan mayoritas agama lain.

“Menurutnya, rokok tidak cocok dengan kehidupan seorang Muslim. Karena, lebih banyak membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan dan kantong. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi seorang yang boros” (Republika, 20 November 2012).

Dalam pandangan agama apapun, boros itu tidak dibenarkan. Terlebih lagi hanya untuk kepuasan duniawi dan kepuasan diri sendiri. Merokok saya rasa semua agama melarang, meski banyak pemakainya kaum muslim. Hindu mengajarkan untuk menghindari makan-makanan yang menyebabkan keterikatan, seperti tersurat didalam Bhagavad gita. Kitab Ayurveda menggolongkan makanan menjadi tiga jenis yaitu makanan satvika, rajasika, dan tamasika, senada dengan ketentuan kitab suci Bhagavad Gita.Berdasarkan penggolongan makanan tersebut, Rokok dapat digolongkan kedalam makanan rajasika

Om Tat Sat

Sebelumnya Perbuatan Buruk Wanita di Jaman Kali

Baca pula Cerpen Layu Sebelum Mekar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun