Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebabnya Drupadi Poliandri

14 Desember 2014   17:57 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14185292051208264517

 

Dalam ajaran Hindu, perkawinan yang ideal adalah perkawinan Sewala Brahmacari, dimana seseorang hanya mengikatkan tali perkawinannya pada satu orang, satu istri satu suami. Meski demikian, perkawinan poligini juga dibenarkan dengan batasan empat orang istri dengan beberapa persyaratan, disebut dengan istilah Kresna Brahmacari.

Bagaimana dengan poliandri?

Secara sederhana, poliandri diberikan definisi yaitu “seorang istri bersuami lebih dari satu orang. Poliandri dibagi menjadi 2 macam, yaitu: Poliandri fraternal, bila para suami beradik-kakak dan Poliandri non-fraternal, bila para suami bukan beradik-kakak” (Wikipedia).

Menurut uaraian kisah Mahabharata, dahulu kala dikatakan bahwa perkawinan poliandri dianggap biasa. Namun seiring perkembangan jaman, poliandri dianggap usang dan dilarang Veda. Meski poliandri telah dilarang, namun perkawinan poliandri dilakukan oleh Panca Pandawa. Hal ini menyebabkan keluarga kerajaan Astina Pura dan kerajaan Panchala geger. Bagaimana mungkin hal yang dilarang Veda dilakukan oleh keluarga istana, oleh calon putra mahkota, Yudistira dan saudaranya? Tentu hal ini menjadi bahan ejekan keluarga istana, terutama Korawa. Menurut Duryodana, wanita yang berpoliandri sama dengan pelacur, wanita tuna susila.

Praktek-praktek poliandri, sebenarnya banyak terjadi di berbagai belahan dunia, pada umumnya secara terselubung, meski ada pula yang terbuka. Menurut Wikipedia, Poliandri antara lain terdapat pada orang Eskimo, Markesas (Oceania), Toda di India Selatan dan beberapa bangsa di Afrika Timur dan Tibet.

Pada jaman post medern, ada banyak kasus poliandri terjadi di berbagai belahan dunia. Poliandri terselubung terjadi di Yordania, seperti dikutip dari berita liputan6.com, menuliskan; Mengutip media al-Hayat, situs Al Arabiya pada 24 Februari 2014 melaporkan, pekan ini pengadilan di  al-Ramth, kota di bagian utara Yordania, sedang mempertimbangkan kasus yang melibatkan dua pria Suriah, seorang pria Yordania, dan seorang pria Arab Saudi. Banyak orang menyatakan keterkejutan mereka atas kasus tersebut, apalagi itu terjadi dalam masyarakat muslim.

Tak jauh berbeda dengan kasus poliandri di Yordania, seorang wanita asal Inggris bisa memiliki tiga suami dalam waktu bersamaan. Seperti dilansir dari portal Vivanews. Tak hanya diluar negeri, di Indonesia pernah dihebohkan kasus poliandri di Madura. Seperti dilansir Voa Islam: Suami Berpoligami, Istri Balas Menikahi Teman Suaminya. Selain di Madura, juga terjadi berita heboh di Jambi, seorang oknum PNS Jambi dikabarkan berpoliandri. Seperti dikutip dari Jambi Ekspres. Kasus Poliandri juga pernah terjadi di Aceh.

Tanpa disadari, kasus poliandri sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita. Seorang wanita yang belum sah bercerai dan kemudian menikah lagi, perbuatan ini sama dengan poliandri, dan pihak perempuan dapat dituntut pasal 279 KUHP.

Selain itu, seorang wanita yang masih terikat perkawinan dengan seorang lelaki, kemudian berzina (selingkuh) dengan lelaki lain yang sudah menikah, menurut hukum Hindu juga dianggap menikah kembali, dengan kata lain berpoliandri. Kitab suci Manawa Dharmasastra VIII.353 menyatakan, “Dengan perzinahan menimbulkan kelahiran warna campuran antara manusia; kemudian dari itu menimbulkan dosa yang akhirnya memotong ke akar-akarnya dan menyebabkan kehancuran dari segalanya”.

Selanjutnya Manawa Dharmasastra V.163 menegaskan, “Wanita yang berzina dengan seorang laki-laki dari golongan lebih tinggi, dengan meninggalkan suaminya sendiri yang dari golongan rendah akan menjadi tercela dalam hidup di dunia ini dan dinamai wanita yang kawin lagi walau hanya berzina”.

Melihat dari fakta yang ada dalam masyarakat, poliandri ala Drupadi jangan dijadikan sebagai kedok atau alasan melakukan poliandri, terutama bagi mereka yang menuntut kesetaraan gender, seperti pertanyaan seorang wanita; lelaki boleh poligami, kenapa wanita tidak boleh poliandri, seperti yang dilakukan Drupadi dengan Panca Pandawa?

Poliandri Drupadi bukanlah sebuah perkawinan poliandri yang sengaja dilakukan, akan tetapi tragedi ini merupakan sebuah takdir dari Yang Kuasa yang tak dapat dihindari.

Berdasarkan uraian kitab Mahabharata sesuai terjemahan teks aslinya, bahwa Drupadi atau Dewi Krisna merupakan penjelmaan seorang wanita cantik tak bersuami yang kemudian lahir melalui korban api, sehingga Drupadi juga bernama Yajnasena. Pada kehidupan terdahulu, sebelum lahir menjadi Drupadi, gadis cantik ini melakukan tapa berat kepada Mahadewa agar dianugerahi seorang suami yang terbaik. Tuhan semesta alam pun berkenan, ia dianugerahi suami seperti yang diinginkan. Kisahnya sebagai berikut:

Setelah Arjuna memenangkan Swayemvara (sayembara), Panca Pandawa pulang ke gubuknya di hutan membawa Dewi Krisna. Arjuna memberitahu ibunya bahwa mereka membawa sedekah. Kunti tak melihat apa yang dibawa Arjuna.

[..Kunti yang di sana masih dalam kamar dan tidak melihat putra-putranya, menjawab “Nikmatilah kalian semuanya (apa yang kalian telah dapatkan).” Beberapa saat kemudian, ia melihat Dewi Krisnha dan kemudian berkata, “Oh, apa yang telah aku katakan tadi” Dengan kecemasan akan ketakutan berbuat dosa, dan berpikir bagaimana setiap orang dapat terlepas dari situasi ini, ia mengamit tangan Yajnasena, dan menghampiri Yudhistira berkata, “Putri Raja Yajnasena ini setelah ditunjukan kepadaku oleh adikmu sebagai derma yang mereka dapatkan, karena ketidaktahuan, O Raja, aku berkata apa yang sepatutnya, yaitu, nikmati oleh kalian semua apa yang telah didapatkan. O engkau banteng keturunan Kuru, katakanlah kepadaku bagaimana caranya agar ucapanku tidak menjadi kenyataan, bagaimana supaya dosa tidak menyentuh putri Raja Panchala ini, dan bagaimana juga agar ia tidak menjadi tidak tenang.”..] (Mahabharata, Adi Parva, hal 550).

Menurut Yudistira, Arjunalah yang berhak menikahi. Arjuna menolak, karena menurutnya itu perbuatan dosa menolak perintah ibunya. Yudistira kemudian menuruti perintah ibunya meski kata itu keluar tanpa disengaja, membagi hasil swayemvara berlima. Setelah beberapa hari, Drupadi kemudian dibawa ke hadapan raja Drupada bahwa putrinya telah dinikahi berlima. Bagaimana tanggapan Drupada, sang raja amat murka, tetapi ditenangkan oleh Yudistira.

[Drupada menjawab, “O keturunan Kuru, telah diarahkan bahwa seorang laki-laki boleh mempunyai banyak istri. Tetapi tidak pernah terdengar bahwa seorang wanita boleh mempunyai banyak suami! O Putra Kunti, karena Paduka murni dan paham akan aturan-aturan moralitas, sudah sepantasnya jika Paduka tidak melakukan perbuatan yang penuh dosa itu dan melawan kebiasaan dan Veda. Kenapa, O pangeran, pengertian Paduka bisa demikian?”] (Mahabharata, Adi Parva, hal 561)

Ketika dalam perdebatan tentang benar salah akan pernikahan poliandri itu, yang agung Rsi Vyasa datang dari pengembaraannya. Semua yang hadir dalam sidang memberi hormat. Drupada mempertanyakan hal itu kepada sang Rsi agung.

[Vyasa menjawab, “Kebiasaan ini, O Baginda, yang dikatakan bertentangan dengan kebiasaan dan Veda, telah menjadi usang atau tidak dipakai lagi. Aku menginginkan, bagaimana pun, untuk mendengar apa opini dari masing-masing dari kalian atas masalah ini”] (Mahabharata, Adi Parva, hal 562).

Mereka yang hadir pun saling berganti menjawab, Drupada yang menjawab pertama. Setelah perdebatan usai, Rsi Vyasa mengajak Drupada ke ruangan pribadi untuk mengungkapkan kebenaran tentang masa lalu mereka sebelum lahir. Mulai dari siapa sebenarnya pandawa yang merupakan penjelmaan dari lima Indra, mahkluk surgawi yang turun ke bumi karena kesalahannya, dilanjutkan bercerita tentang siapa Drupadi sebenarnya.

[Sang Rishi kemudian dengan senang hati melanjutkan, “Dalam sebuah pertapaan, ada putri Rishi yang terkenal, yang walaupun cantik dan murni, tidak mendapatkan seorang suami. Gadis ini membuat senang, dengan tapa penebusan dosa yang keras, Dewa Sankara (Mahadewa). Dewa Sankara senang dengan tapanya, berkata kepadanya, “Mintalah hadiah yang engkau inginkan.

”Demikian disapa, sang gadis berulang-ulang berkata kepada dewa tertinggi pemberi hadiah itu, “Hamba menginginkan seorang suami yang mempunyai setiap kesempurnaan”. Sankara, dewanya dewa, senang dengannya, memberikan hadiah yang ia minta, berkata,“Engkau akan mempunyai, O gadis yang ramah, lima orang suami”. Sang gadis, yang telah berhasil membuat dewa itu senang, berkata lagi, “O Sankara, hamba ingin dari paduka untuk mempunyai hanya seorang suami yang baik?” Dewanya dewa, yang sangat senang dengannya, berbicara lagi, “Engkau telah, O gadis, memintaku lima kali penuh, berulang-ulang, ‘Berikan hamba seorang suami.’ Karena itu, O engkau yang ramah, bahkan akan demikian sesuai dengan apa yang engkau minta. Terberkatilah engkau. Semuanya ini, bagaimana pun, akan terjadi di kehidupanmu yang akan datang!”.

Vyasa melanjutkan, “O Drupada, putrimu ini dengan kecantikan surgawi adalah gadis itu..” ] (Mahabharata, Adi Parva, hal 569).

Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa poliandri yang dilakukan Drupadi bukan atas dasar untuk mendapatkan kesenangan nafsu seks dengan memiliki suami lima. Melainkan merupakan takdir yang tak bisa dihindari.

Dengan demikian, poliandri yang dilakukan Drupadi tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan poliandri, lebih-lebih hanya untuk mendapatkan kesenangan nafsu seks yang dapat menghantarkan seseorang pada penderitaan, baik pada kehidupan saat ini, maupun pada kehidupan setelah kematian, dunia akhirat.

Ada banyak alasan kenapa poliandri dilarang sedangkan poligini dibenarkan; pertama, akan terjadi kerancuan garis keturunan. Kedua, sulit mengetahui siapa ayah dari si bayi, meski saat ini bisa dilakukan dengan tes DNA. Ketiga, menyakiti istri dalam berhubungan seks.

Barangkali alasan-alasan tersebut di atas belum dapat diterima, tetapi jika merujuk kitab suci, menurut hemat saya alasan yang tepat adalah seorang lelaki dilarang berlindung kepada wanita. Artinya, seorang lelaki tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada seorang wanita, tidak dibenarkan menikmati kekayaan seorang wanita, dan lain sebagainya. Karena apabila lelaki dipoliandri, tentu ia menggantungkan dirinya kepada wanita.

 

Note:

 

Berdasarkan teks terjemahan Mahabharata, berada dalam tanda [..], dikutip sepotong-potong, hanya mengutip bagian yang penting karena ceritanya terlalu panjang.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun