Apakah kau masih mengingat, puisi pertama dan penuh kecup mesra,Â
Disuatu asing, tatkala kita saling mencumbu ragu, kau dan aku, meramu cinta untuk melahirkan anak anak puisi yang bahagia.
Kata perkata terus mengalir, sepanjang pertemuan dan menyambut rindu. Di suatu sunyi, puisi beranak Pinak, dan rindu, sebagai bapak bertasbih. Bahwa, perjalanan ini adalah purnama.Â
Dan sepanjang purnama, kita berdua tidak pernah sadar, bahwa anak anak puisi tumbuh dewasa. Ia tumbuh bersama emosi, harapan bahkan dengan sesuatu hal yang tidak dapat didefinisikan.Â
Sebuah pengorbanan, selalu di tafsirkan sebagai cinta yang buta. Apakah kesedihanku, di hatimu terlihat buta sayang ?. Kau menjelma serapah, mengasihi kata kata, hingga ia dapat berbicara tanpa membaca. Membaca tubuhnya sendiri.Â
Kata kata dan puisi, kembali menjelma kita.Â
Yang tumbuh dewasa dan penuh retorika.Â
Kembali menjadi sunyi dan asing.Â
Apakah kita perlu kembali bercumbu disuatu ragu, agar bayi bayi puisi tak perlu dewasa dan menelantarkan purnama.Â
Seperti kita, yang tak lagi menyediakan secangkir percakapan lebih penuh dan utuh.Â
14 Oktober 2013/mertamerdeka/