TELAAH KONSEPTUAL
MEKANISME OPERASIONAL PEGADAIAN SYARIAH
Oleh: Meri Piryanti
Abstrak
Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (utang). Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu diperbolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Dalam transaksi rahn mekanisme operasional sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan sampai operasional gadai tidak efektif dan efesien. Akad yang dijalankan, termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus berlandaskan syariah dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengandung unsur riba, maisir, dan gharar. Mekanisme operasional Pegadaian syariah merupakan imple-mentasi dari konsep dasar rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih.
Kata Kunci: Pegadaian Syariah dan Mekanisme Operasional.
A.PENDAHULUAN
Kemaslahatan merupakan salah satu tujuan dari syariah Islam. Atas dasar itu pulalah Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling membantu. Saling membantu dapat diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda, baik berupa pemberian tanpa ada pengembalian, seperti zakat, infak dan shadaqah, maupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman.
Berbicara mengenai pinjam meminjam, Islam membolehkannya baik melalui individu maupun lembaga keuangan seperti bank, asuransi, dan sebagainya. Namun tidak boleh meminta kelebihan dari pokok pinjaman karena termasuk riba. Salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan oleh Rasulullah saw adalah gadai.
Tugas pokok dari lembaga ini adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun demikian, keberadaan lembaga keuangan ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia, mengingat citra yang menempel sangat identik dengan sebuah lembaga keuangan “orang-orang susah”. Salah satu motto yang dibangun dalam rangka mengubah image-nya adalah “melayani masalah tanpa masalah”. Dengan motto tersebut diharapkan masyarakat tidak lagi segan untuk datang ketempat ini.
Implementasi operasi pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensioanal, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan, pegadaian syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensioanal. Dan dalam makalah ini akan diuraikan mengenai konsep operasionalnya dari pegadaian syariah.
B.PEMBAHASAN
1.Pengertian
Gadai dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Dimana barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai hutang.
Sedangkan transaksi umum gadai dalam fikih Islam disebut dengan ar-rahn. Ar-rahn secara bahasa berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam bahasa Arabnya dikenal dengan ats-tsubut wa ad daman (tetap dan kekal), seperti halnya juga dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Muddatstir (74) ayat 38:
@ä.¤§øÿtR$yJÎ/ôMt6|¡x.îpoYÏduÇÌÑÈ
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Pengertian tetap dan kekal dimaksud, merupakan makna yang bersifat materil. Karena itu, secara bahasa rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang atau dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, dan agunan. Kemudian dalam konteks hukum adat, gadai diartikan sebagai perjanjiann yang berhubungan dengan tanah, artinya tanah bukan sebagai uang, dengan ketentuan bahwa ia akan mengembalikan tanah pihak peminjam, setelah uangnya dikembalikan atau tanah akan kembali setelah ditebus. Ketentuan yang demikian bisa mengarah ke riba yang dapat menyebabkan ketidakadilan, sehingga gadai dalam hukum adat bertentangan dengan syariah.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, penulis mengungkapkan gadai (rahn) yang diberikan oleh ahli hukum Islam sebagai berikut:
a)Dari Ulama Syafi’iyah, Hanafi dan Malikiyah. Menurut Ulama Syafi’iyah rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya. Ulama Hanafi mendefinisikannya menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar hutangnya. Selanjutnya dari Ulama Malikiyah mendefinisikan juga, bahwa rahn adalah sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat), menurutnya harta tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat.
b)Menurut Imam Abu Zakariyah al-Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari harga benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.
c)Imam Taqiyuddin dalam hal ini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/ melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
d)Menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra. Jadi, menurutnya uang hasil gadai syariah ini tidak boleh dipakai untuk investasi.
e)Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, bahwa pengertian gadai atau rahn mengutip pandangan Sayyid Sabiq, adalah menyimpan sementara harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh sipiutang. Berarti, barang yang dititipkan pada sipiutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Berdasarkan definisi diatas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (utang).
Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu diperbolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelelangan. Kelebihan hasil pelelangan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
2.Dasar Hukum
Tidak semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjaman/ utang kepada pihak lain. Untuk membangun suatu kepercayaan, diperlukan adanya jaminan (gadai) yang dapat dijadikan pegangan. Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan diperbolehkannya gadai adalah: Pertama, dibolehkannya gadai tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282 dan 283.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis berpendapat, bahwa ayat al-Qur’an diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).
Selain itu juga, beliau mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan (mufassir) dan transaksi yang demikian itu harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan ‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin), dengan alasan bahwa ia meyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang piutang.
Selain itu, dalam Q. S al-Baqarah ayat 283 pada dasarnya hakikat dan fungsi dari pegadaian dalam Islam semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain. Kemudian, kutipan ayat yang artinya “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” merupakan anjuran memberikan jaminan untuk membina kepercayaan. Akan tetapi jika sebagian kamu saling mempercayai (meskipun tanpa jaminan), hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.
Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan biaya atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan , dan asuransi marhun , maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya.
Kedua, dalam hadis Rasulullah saw. “Dari Anas ra. Nabi saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi tersebut berkata: “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah saw. menjawab: Bohong, sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya”.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”. (HR. Jama’ah kecuali Muslim dan Nasa’I, Bukhari no. 2329, kitab rahn).
Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh di tutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya keuntungan dan tanggung jawabnya adalah bila ada kerugian.
Ketiga, Ijma Ulama. Berdasarkan al-Qur’an dan hadist diatas, menunjukkan bahwa transaksi gadai pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, demikian jumhur ulama juga telah sepakat bahwa bolehnya transaksi gadai.
Keempat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut: a) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang rahn, b) Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas, c) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah, d) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, e) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
3.Sejarah Pegadaian Syariah
Keberadaan pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan dan keberhasilan lembaga-lembaga keuangan syariah. Di samping itu, juga dilandasi oleh kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hadirnya sebuah pegadaian yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.
Seiring dengan maraknya aspirasi dari warga masyarakat Islam diberbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam berbagai aspeknya termasuk Pegadaian syariah ini, maka pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktik bisnis sesuai dengan syariah yang termasuk gadai syariah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulam Mei menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk diterapkan praktik perekonomian sesuai syariah dibawah perlindungan hukum positif.
Berdasarkan undang-undang tersebut maka terwujud Lembaga-Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pada awalnya, muncul lembaga Perbankan Syariah, yaitu bank Muamalat sebagai pionirnya, dan kemudian bermunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti Lembaga Asuransi Syariah, Lembaga Pegadaian syariah, dan lain-lainnya.
Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik gadai berdasarkan prinsip syariah, Perum Pegadaian yang telah bergelut dalam bisnis pegadaian konvensioanal selama beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerja sama dengan PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik gadai syariah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya sehingga pada bulan Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerjasama antara keduanya untuk meluncurkan gadai syariah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.
Sebelum Perum Pegadaian membuka unit gadai syariah, pelayanan jasa serupa telah dimulai oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan meluncurkan sebuah produk gadai syariah yang disebut gadai emas Bank Syariah Mandiri (BSM), pada tanggal 1 November 2001 atau bertepatan dengan ulang tahun kedua BSM. Dalam pelaksanaan gadai syariah ini, BSM menerapkan konsep transaksi (akad), yaitu gadai sebagai prinsip dan akad sebagai tambahan terhadap produk lain, seperti dalam pembiayaan ba’i al-murabahah, yaitu a) bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad yang dilakukannya. Namun bank tidak menahan jaminan secara fisik, kecuali surat-suratnya saja (secara fidusia) b) gadai sebagai produk, yaitu bank dapat menerima dan menahan barang jaminan untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka waktu pendek.
Pada dasarnya, jasa gadai emas syariah dan konvensional tidak berbeda jauh dalam bentuk pelayanannya, yang membedakan hanyalah pada pengenaan biaya. Pada gadai emas konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat akumulatif. Sedangkan gadai syariah hanya ditetapkan sekali dan dibayar dimuka.
4.Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad. Sedangkan menurut Syamsul Anwar dalam bukunya hukum perjanjian syariah menuliskan bahwa akad adalah pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada 4, sama seperti dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab XIV bagian Pertama tentang Rukun dan Syarat Rahn, yaitu:
1)Shigat
2)Orang yang berakad (rahin dan murtahin)
3)Harta yang dijadikan marhun
4)Utang (marhun bih)
Menurut Imam Abu Hanifah, sesuai dengan pandangannya tentang rukun akad, rukun rahn hanya ijab dan kabul saja.
Sedangkan syarat-syarat terkait dengan rukun-rukun diatas, diantaranya adalah:
1)Shigat, syarat shigat adalah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contohnya adalah pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2)Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, maksudnya orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah bahwa kedua-duanya harus: a) telah dewasa b) Berakal sehat c) dan atas keinginan sendiri secara bebas.
3)Utang (marhun bih), syaratnya adalah a) Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin, b) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah, c) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4)Marhun, dan untuk syarat marhun menurut pakar fiqh adalah: a) Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih, b) Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal), c) Marhun itu jelas dan tertentu, d) marhun itu milik sah rahin, e) Marhun tidak terkait dengan hak orang lain f) Marhun merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan g) Marhun tidak boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
5.Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak yang bersangkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan marhun, terkecuali apabila kedua rahin dan murtahin ada kesepakatan. Dalam hal ini, ulama sepakat bahwa barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta. Para ulama mempunyai pendapat berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai:
·Pendapat Ulama Syafi’iyah
Menurut Ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai (rahin) walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin). Dasar hukum hal dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:
Pertama, Hadis Nabi saw. yang artinya ”Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. dia bersabda: ‘Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’I dan Daruquthny dan ia berkata bahwa sanadnya Hasan dan bersambung). Hadis ini menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat dari marhun selama pihak rahin menanggung segalanya.
Kedua, Hadis Nabi yang artinya “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bersabda gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya). (HR. Asy-Syafi’I dan Ad-Daruquthni)
Ketiga, Hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya “Dari Ibn Umar ia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Hewan seseorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, maka ulama syafiiiyah berpendapat bahwa marhun itu tidak lain sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Kepemilikan marhun tetap ada pada rahin. Karenanya, manfaat atau hasil dari marhun itu milik rahin. Kemudian as-Syafii menjelaskan tasarruf yang dapat mengurangi harga marhun adalah tidak sah, kecuali atas izin murtahin. Oleh karena itu, tidak sah bagi rahin menyewakan marhun, kecuali ada izin dari murtahin. Selanjutnya apabila murtahin mensyaratkan bahwa manfaat marhun itu baginya yang disebutkan dalam akad, maka akad itu rusak atau tidak sah. Sedangkan apabila mensyaratkannya sebelum akad, maka hal itu dibolehkan.
·Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyyah berpendapat seperti yang dikutip Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa menerima harta gadai (murtahin) hanya dapat memanfaatkan harta benda barang gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan tertentu:
1)Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.
2)Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan pada dirinya.
3)Jika waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi batal.
·Pendapat Ulama Hanabilah
Ulama Hanabillah lebih memperhatikan marhun itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah atau ditunggangi. Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa hewan itu diqiyaskan dengan kendaraan. Illatnya yang disamakan adalah hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki dan diperah susunya dapat diillatkan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal yang menghasilkan dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illatnya adalah hasilnya, yaitu apabila hewan hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang.
·Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut pendapat ulama Hanafiyyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak. Menurut ulama Hanafiyyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan dari barang tersebut, padahal barang itu memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan kemudaratan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (rahin).
6.Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah (Rahn) dan Gadai Konvensional
Apabila kita membandingkan produk gadai syariah dan gadai konvensional, maka pegadaian syariah dapat menjadi alternatif bagi orang yang membutuhkan dana murah, cepat dan juga sesuai dengan hukum Islam.
Persamaan gadai dengan gadai syariah (rahn) adalah:
a)Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
b)Adanya agunan sebagai jaminan utang
c)Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
d)Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
e)Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan antara gadai konvensional dan rahn adalah:
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
a)Di dalam pegadaian konvensioanal, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalam rahn hanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas pemeliharaan.
b)Pegadaian konvensioanal hanya melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang bisa ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensioanal bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpanan.
c)Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian), dan rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
d)Kelebihan uang hasil dari penjualan barang pada pegadaian syariah tidak diambil oleh nasabah, diserahkan kepda lembaga ZIS, sedangkan pada gadai konvensional kelebihan uang hasil lelang barang tidak diambil oleh nasabah tetapi menjadi pemilik pegadaian.
Dan didalam Lembaga Keuangan Syariah, transaksi rahn dapat dilakukan dengan dua cara, 1) Sebagai produk pelengkap 2) Sebagai produk tersendiri.
Untuk lebih lengkapnyanya, dibawah ini akan dibedakan mengenai variable biaya dalam pegadaian konvensional dan Pegadaian syariah.
Variabel biaya dalam Pegadaian konvensioanal meliputi:
1)Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.
2)Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai berikut:
a.Pinjaman kurang dari Rp. 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b.Pinjaman lebih dari Rp. 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1%.
Variabel biaya dalam Pegadaian syariah meliputi:
1)Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai berikut:
Rp. 20.000 – Rp. 150.000 = Rp. 1.000
Rp. 155.000 – Rp. 500.000 = Rp. 3.000
Rp. 505.000 – Rp. 1.000.000 = Rp. 5.000
Rp. 1.050.000 – Rp. 10.000.000 = Rp. 15.0001
Rp. 10.050.000 – dan seterusnya = Rp. 25.000
2)Biaya Jasa Simpan yang dihitung per 10 hari
Berikut disajikan table perbedaan teknis antara Pegadaian syariah dan Pegadaian konvensioanal:
No
Pegadaian syariah
Pegadaian konvensioanal
1
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
2
Jasa simpanan berdasarkan taksiran.
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
3