Ingat berita mengenai pro-kontra pembangunan gedung baru DPR? Ingat pihak DPR terus mengklaim bahwa mereka butuh dan amat setuju dengan pembangunan gedung wah senilai Rp 1,1 triliun? Ingat bahwa hal tersebut sempat dinilai karena tidak layaknya ruang kerja yang ada dibanding dengan ruang milik bupati dan menteri? Adakah hal ini menjadi bukti bahwa kini budaya iri tengah berdiri?
Pembangunan gedung DPR yang telah menjadi perbincangan hangat hanyalah sebagian kecil dari hiruk-pikuk permasalahan yang terjadi di negeri ini. Hal ini tentu tidak akan dituding menjadi hal yang wah jika DPR telah bekerja sesuai harapan dan baik pula. Mengingat bahwa kinerja dari dewan yang mewakili suara rakyat ini belum sepenuhnya mewakili suara rakyat yang padahal menjadi tugas utama. Maka tak heran jika DPR terus menjadi buah bibir penuh harap dari masyarakat sendiri.
“Envy is ignorance.” Berikut ucap Ralph Waldo Emerson dalam karya tulis Self-Reliance. Kata yang cukup mewakili arti dari iri hati yang terjadi. Mengartikan bahwa iri adalah hal yang bodoh untuk ditumbuhkan dalam setiap insan, khususnya dunia pemerintahan. Jika pemimpinnya demikian, apa yang akan terjadi kemudian?
Konsumerisme
Adanya keterikatan antara rasa iri dan konsumerisme juga menjadi bukti nyata yang terjadi di kalangan masyarakat kita. Produk baru yang terus bersaing, membuka lapangan kompetisi bagi konsumen untuk membeli nilai manfaat dan ‘nilai gengsi’ secara tidak langsung. Terlihat dari bagaimana peningkatan total penjualan kendaraan mau pun teknologi yang terus berkembang dan diperbaharui. Konsumerisme akan semakin mendarah daging ketika rasa iri tersebut mengalir untuk menyaingi kepunyaan milik orang lain.
Akibatnya, tindak kejahatan pun tak lupa jadi sorotan kacamata pandang akibat perasaan iri. Naik-turunnya tingkat kriminalitas akan terus membawa keresahan bagi masyarakat untuk menanti terciptanya rasa aman dan damai. Iri, kembali dengan satu kata tersebut. Kemiskinan akan membuat akar iri hati semakin berkembang. Nilai moril yang perlu ditumbuhkan serta adanya gap yang perlu segera diselesaikan akan menjadi pokok penyelesaian. Terlebih melalui tindak peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah dirasa sebagai jawaban atas kegalauan yang terjadi.
Pendidikan Karakter
Tak ayalnya dalam dunia pendidikan, pembahasan mengenai sifat iri pun turut menuai kontroversi ketika berbicara soal karakter. Sifat iri mungkin benar sebagai hal yang dimiliki setiap orang, hanya saja berbeda kadarnya. Hal ini dapat tumbuh sejak dini sebagai akibat dari lingkungan, baik di kalangan atas hingga menengah ke bawah. Hasil studi menemukan bahwa 80 persen anak Indonesia berpikir negatif atau mental block sebagai bentuk kegagalan pertumbuhan otak dari kecil (Kompas, 8/11). Tentu saja hal ini cukup dikhawatirkan mengingat dampak negatif akan terjadi ketika lingkungan iri hati mengelilingi anak yang rasa ingin tahunya masih terus terasah.
Murid yang seyogianya belajar sesuai bakat dan kesukaannya, secara tidak langsung telah dipaksa untuk menguasai seluruh pelajaran bahkan mengejar ranking setinggi-tingginya. Sistem pendidikan yang menjadi rahasia umum ini tengah memaksa anak mengejar bahkan hingga melakukan hal yang tak sepantasnya. Maraknya percontekan dan kecurangan, pencelaan sesama teman atau bahkan rasa iri dan dendam akan mengakar sebagai sifat diri yang amat biasa. Perlunya kesadaran bahwa tugas pendidik kini bukan lagi sekadar pengajar materi pelajaran, tetapi juga sebagai teladan pengajar akhlak yang dijunjung tinggi dan diharapkan oleh para orang tua.
Ada negatif, ada pula positif. Hukum alam ini diibaratkan dalam sisi koin yang tak pernah terlepas satu sama lain. Di satu sisi, rasa iri memang memalukan. Di sisi lain, rasa iri boleh jadi sebagai alat memajukan diri. Memacu atau pun mendorong kemauan seseorang untuk menjadi lebih baik seperti yang kita harapkan, bahkan lebih. Hanya saja, kompetisi yang terjadi diperlukan haruslah sehat dan tidak menjerumuskan. Merugikan orang lain sama saja memberi balasan untuk tampil merasa lebih baik. Terjun untuk menambah motivasi dan tidak berpuas diri akan menumbuhkan iri ‘positif’ seseorang dalam mengerjakan apa pun.
Baik adanya bila masing-masing dari kita tak lagi khawatir dengan persaingan yang menumbuhkan rasa iri. Persaingan akan selalu ada, namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana cara menanggapinya. Bersaing dengan diri sendiri akan lebih terhormat dibanding mencoba mengalahkan orang lain. Kompetisi yang sehat dengan paradigma yang baru akan memberi suatu solusi tersendiri bagi budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H