melahirkan kelak. Apapun yang terjadi pada hari itu tiba akan saya hadapi asalkan suami saya berada di sisi saya.
Sejak awal-awal mula tahu diri tengah mengandung, hal yang seketika langsung terbayang oleh saya adalah bagaimana kompleksnya prosesBegitulah latar belakang alias alasan utama saya memilih metode melahirkan secara sesar dibandingkan normal atau pervaginam. Mungkin bagi kebanyakan orang itu tidak begitu penting, namun di kepala saya hal tersebut mutlak dan tak terbantahkan.
Mulailah saya membaca-baca berbagai artikel tentang metode melahirkan yang umum dijalani para ibu hamil. Hanya ada dua, jika tidak normal berarti melalui operasi. Lebih mendalam lagi saya membanding-bandingkan kelebihan juga kekurangan kedua metode tersebut lantas menyesuaikan dengan keadaan diri nantinya.
Tidak sampai sebulan usia kandungan, saya menjatuhkan pilihan pada melahirkan dengan proses operasi atau sesar. Pasalnya, saya akan melahirkan di rumah kedua orang tua saya yang mana lokasinya terbilang cukup jauh dari keberadaan suami.Â
Perjalanan darat yang ditempuh dari tempat kerja suami ke rumah orang tua sekitar 12 jam, pergi pagi sampainya bisa sore atau malam hari. Itupun mesti mengajukan cuti terlebih dahulu jauh-jauh hari.Â
Membayangkan kondisi perut sudah memasuki masa-masa kontraksi, eh suami masih di perjalanan anaknya sudah brojol duluan.Â
Atau belum lagi pas lagi mules-mulesnya mau melahirkan dan suami sudah di perjalanan, lah ternyata hanya kontraksi palsu belum waktunya si bayi keluar.Â
Seperti itu kira-kira jika saya memilih melahirkan secara normal, kondisi bayi keluar dari perut benar-benar tidak dapat dipastikan meskipun sudah ada yang namanya HPL (Hari Perkiraan Lahiran).Â
Karena tidak sedikit ibu-ibu hamil yang menjalani proses persalinan sebelum atau bahkan lewat dari hari perkiraan tersebut.
Lain halnya dengan metode sesar, sebagai pasien kita bisa berkonsultasi dengan dokter kandungan yang menangani dan menyepakati tanggal operasi persalinan dengan catatan kehamilan sudah memasuki usia 36 atau 37 minggu. Di usia tersebut, bayi diperkirakan sudah siap untuk keluar dari rahim.
Jeng jeng jeng, dan sepertinya semesta memang memahami situasi yang saya alami. Memasuki trimester 3, saya melakukan pemeriksaan dan USG kandungan lalu dokter yang bersangkutan menyatakan bahwa janin saya belum turun ke panggul sebab kondisinya yang sempit.Â
Oleh karena itu, sang dokter menganjurkan untuk tindakan operasi saat persalinan. Tidak hanya itu, dokter tersebut juga menyarankan saya memilih tindakan sc eracs dengan proses recovery yang lebih cepat dan minim rasa sakit. Setelahnya, kami pun menyepakati tanggal untuk si bayi lahir ke dunia.
Kabar haru itu pun disambut baik oleh suami saya, beliau bertandang sehari sebelum hari persalinan dan berada di sisi saya tepat di hari putri kami terlahir sesuai impian saya.Â
Bahagia? Tentu saja. Di saat orang-orang banyak yang menginginkan persalinan normal, saya sedemikian rupa mengupayakan supaya bisa sesar karena kondisi yang sedang berjauhan dengan suami alias LDM.
Alhamdulillah, saya memiliki support system terbaik yang mumpuni dalam memahami diri saya. Plusnya keadaan yang dipermudahkan dan segala prosesnya begitu lancar.Â
Saya tidak ambil pusing dengan berbagai omongan yang menyudutkan saya, karena orang-orang tetap akan menyepelekan kondisi atau keinginan mendalam saya seberapa keraspun saya menjelaskan kepada mereka.
Akhirnya, saya menjadi seorang ibu yang riang hatinya kala itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H