Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya dan Kenangan Pramuka Wajib Masa itu

11 April 2024   20:26 Diperbarui: 11 April 2024   20:38 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi/Merita Dewi

Sepintas saya sepakat jika diterapkan aturan bahwa ekstrakurikuler Pramuka tidak wajib lagi diikuti oleh siswa-siswi baik itu di tingkat dasar maupun menengah pertama hingga menengah atas. 

Sebagai seorang murid, tentunya kita berhak diberi kebebasan untuk memilih kegiatan pengembangan diri yang benar-benar sesuai dengan kapasitas, minat juga bakat. 

Meski begitu, saya mengakui eksul pramuka ini lumayan seru untuk diikuti walaupun saya sempat merasa tersiksa dengan berbagai kegiatannya. Enjoy it, saya mengikut saja apa yang sudah diarahkan pihak sekolah. Ini dia sekilas cerita saya bersama pramuka wajib. 

Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib pernah saya ikuti ketika masih bersekolah tingkat SMA. Sebelumnya sudah ada dua ekskul wajib yaitu Rohis (Rohani Islam) dan English Club, ketambahan pramuka jadi berjumlah tiga. 

Selain itu, kami juga wajib mengambil ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat dan bakat siswa, saat itu saya mengambil Olimpiade Matematika. Jadi total ada 4 ekstrakurikuler yang harus diikuti siswa setiap pekannya. 

Menurut saya sih kebanyakan dan membuat kami kesulitan untuk fokus. Tapi ya namanya murid sudah semestinya menurut saja terhadap berbagai kebijakan yang telah ditetapkan sekolah.

Foto di atas diambil ketika saya mengikuti salah satu dari agenda ekstrakurikuler pramuka wajib, yaitu perkemahan yang diadakan pada hari Sabtu hingga Minggu atau yang disingkat dengan Persami. 

Nah, Persami ini untuk pertama kalinya diadakan di halaman sekolah melibatkan seluruh siswa dari kelas X hingga XI pada tahun 2014 semester genap. Kelas XII tidak diikutsertakan mengingat mereka sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusan sekolah dan nasional. 

Saat itu saya baru duduk di kelas X. Kami yang sedang mengikuti agenda Persami tersebut berjumlah lebih kurang 200 siswa/siswi.

Kegiatan yang diagendakan pada Persami ini sebenarnya sama saja dengan perkemahan anak pramuka pada umumnya. Namun, tidak semua dari kami mempunyai latarbelakang pernah mengikuti pramuka sebelumnya. 

Sehingga tidak sedikit dari kami akhirnya mengalami kesulitan untuk mengatasi beberapa urusan seperti mendirikan tenda, mencari kayu bakar dan lainnya. 

Contohnya saya sendiri, yang sebelumnya memang tidak pernah mengikuti ekstrakurikuler pramuka baik di SD maupun SMP. Hanya sekadar mengetahui bahwa kegiatan pramuka lebih banyak difokuskan di lapangan atau outdoor, tidak lebih dari itu. 

Saya dan kebanyakan anggota regu juga merasa kebingungan saat diperintahkan mendirikan tenda, harus mencari-cari lagi kekurangan kayu sebagai tiang penyangga tenda, mengatur letak dapur, barang-barang pribadi hingga posisi tidur 10 orang. Belum lagi memikirkan yel-yel dan kreativitas yang harus ditampilkan saat malam pentas seni berikut latihannya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 

Di tengah sedang memikirkan kegiatan pentas seni, seketika berbunyi sirine tanda berkumpul sudah tiba. Benar-benar harus bisa jadi orang yang sat set sat set deh pokoknya. 

Malamnya, saya melihat beberapa hal terjadi di luar perkiraan dan terkesan cukup mengerikan. Seusai malam pentas seni dan api unggun digelar, hujan turun sangat deras disertai angin kencang dan lampu seluruhnya padam. 

Seketika suasana menjadi sangat heboh. Tenda-tenda yang kami dirikan dengan susah payah roboh semua diterjang angin. Kami seluruhnya diarahkan untuk mengungsi ke aula sekolah. Maka, berbondong-bondonglah kami menuju aula membawa barang-barang pribadi mengandalkan cahaya senter di gawai. 

Sesampainya di aula, alangkah terkejutnya saya melihat beberapa siswa kesurupan tengah berteriak-teriak ada pula yang menangis kencang seperti orang kelimpungan. Tidak sedikit khususnya perempuan yang tak sadarkan diri, mungkin sudah bercampur lelah atau memang sedang sakit. 

Siswa yang tak sadarkan diri dan sakit segera diberi pertolongan oleh anak-anak PMR juga guru-guru. Sedangkan yang tampak kerasukan dibiarkan begitu saja meracau tak tentu arah. 

Saya bersama dua orang teman dekat saya berusaha menguasai diri supaya tetap tenang di tengah suasana yang tidak lagi kondusif.

Tak lama kemudian datanglah seseorang yang dari perawakannya seperti ustadz. Ternyata ia diminta untuk menengahi suasana yang sedang kalut dengan ramainya siswa yang kesurupan di sekolah kami malam itu. 

Dengar-dengar, ustadz tersebut mengatakan bahwa penunggu sekolah kami sedang menegur kami. Yang bersangkutan juga tidak terima begitu saja karena kami menebangi pohon-pohonnya tanpa izin untuk dijadikan kayu bakar api unggun dan penyangga tenda. 

Untuk sekelas saya yang jam 9 malam sudah waktunya tidur, ini masih harus tersadar ketika jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari. Mata saya sudah sangat berat dan mengantuk, hingga akhirnya saya memilih pojokan aula bersama dua orang teman saya dan tertidur di sana sambil memeluk tas kami masing-masing. 

Saya tidak tahu lebih lanjut apa yang terjadi dan yang dilakukan ustadz tersebut di sekolah kami, kami dibangunkan sekitar pukul 04.00 WIB untuk mengikuti apel. Setelah shalat subuh, kami diperkenankan meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah masing-masing. 

Entah kejadian tersebut hanya ada di sekolah kami saja atau di tempat lain juga pernah mengalami hal serupa, saya tidak begitu yakin. Intinya setelah tragedi itu, pihak sekolah tidak pernah lagi mengadakan perkemahan di area sekolah bahkan sampai saya lulus. 

Lanjut lagi ketika saya menginjak kelas XI, ekstrakurikuler pramuka mengadakan agenda bernama Gladi Tangguh. Tahukah bagaimana bentuk kegiatannya? 

Kami harus menempuh jarak sejauh lebih kurang 15 km dengan berjalan kaki dimulai dari pukul 08.00 WIB pagi lalu berhenti setelah sampai jarak 6 km pada pertengahan hari untuk makan siang dan shalat kemudian dilanjutkan sampai sore hari hingga tiba kembali di sekolah. 

Jangan lagi ditanya, kegiatan yang satu ini bukan main lagi melelahkannya. Mana di pertengahan jalan kami juga harus melalui sebuah parit yang baunya cukup tidak sedap dengan ketinggian air mencapai dada orang dewasa.

Saya termasuk siswa yang mampu menyelesaikan kegiatan tersebut sampai akhir. Beberapa teman saya ada yang pingsan, sakit, bahkan ada pula yang berbuat curang dengan menumpang kendaraan yang lewat supaya cepat sampai ke lokasi yang diarahkan. 

Itulah sedikit lika liku yang saya alami ketika menempa diri di ekstrakurikuler pramuka. Agak sebal sih dengan berbagai kegiatannya yang cukup menguras tenaga itu, tapi ya buktinya terlewati juga meski kebanyakan mengeluhnya. Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun