Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah perjalanan dinas ke salah satu cabang, saya bertemu dengan salah satu agen asuransi. Bincang-bincang kami awalnya hanyalah seputar lalu lintas dan jalanan yang macet. Kebetulan saat itu kami sedang terjebak macet yang panjangnya seperti ular naga. Sedang asyik curhat tentang suka duka dalam mengarungi macet, tiba-tiba mata kami tertuju ke sebuah pelataran rumah sakit yang posisinya hanya beberapa meter dari mobil yang kami tumpangi terhenti. Dari sebuah ambulan kami melihat beberapa pasien diduga korban laka lantas dikeluarkan dalam keadaan berlumuran darah. Saat itulah obrolan mengenai asuransi ini di mulai.
Saya merasa prihatin dengan luka yang di alami oleh korban kecelakaan tadi, terbayang di benak saya jika korban tersebut luka parah dan harus dirawat intensif pastilah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tahu sendirilah, biaya berobat di Indonesia ini nilainya selangit. Kalau pun ada program-program berobat gratis untuk rakyat miskin dari pemerintah, pada kenyataannya toh untuk mendapatkan fasilitas gratis tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tetap saja rakyat miskin harus berjibaku dengan jatah bangsal yang sering kali habis. Tetapi agen asuransi yang semobil dengan saya berpendapat lain, dia berpendapat jika korban tersebut memiliki asuransi jiwa, dia tidak akan mengalami kesulitan dalam pengobatan karena semuanya di tanggung oleh pihak asuransi. Kemudian dia bercerita bahwa tujuan dia ke kota hari ini adalah dalam rangka mengurus klaim salah satu nasabahnya yang sedang mengalami musibah. Tidak tanggung-tanggung, biaya santunan yang sedang dia perjuangkan untuk nasabahnya itu mencapai 180 juta. Wow ! Benarkah itu ? Entahlah, meskipun agen asuransi tersebut panjang lebar telah memaparkan betapa nyamannya jika memiliki asuransi, tetapi tetap saja hati kecil saya merasa #beratberasuransi. Saya merasa begitu karena waktu awal menikah dulu, ayah mertua sempat bercerita bahwa beliau pernah ikut asuransi pada sebuah perusahaan asuransi nasional. Saat itu dia mengambil program edukasi, guna jaga-jaga jika suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan seperti cacat total atau meninggal dunia, sehingga dia sebagai tulang punggung keluarga tidak lagi bisa membiayai pendidikan anak-anaknya, maka ada asuransi yang akan membackup biaya pendidikan anaknya. Selama kurang lebih lima tahun berasuransi, dan membayar premi rutin tiap bulannya, tiba-tiba saja Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1998. Hal ini membuat beliau tidak lagi mampu membayar premi yang nilainya melonjak berkali lipat. Oh ya saat itu mertua menggunakan mata uang dollar untuk asuransinya. Jadi tidak ada jalan lain, dari pada rugi banyak, akhirnya beliau memutuskan untuk menjual polis tersebut. Sumber Berbekal pengalaman dari mertua tersebut, membuat saya selalu berkata "pikir-pikir dulu" setiap ada tawaran asuransi dari beberapa agen. Saya merasa #beratberasuransi karena merasa terbebani dengan premi wajib tiap bulannya. Terlebih lagi saat ini saya dan suami adalah karyawan swasta yang sifatnya kontrak, sewaktu-waktu jika masa kontrak habis, kami harus siap-siap untuk menjadi pengangguran. Jadi kami khawatir jika kontrak kami habis, bagaimana caranya kami bisa membayar premi ? Karena pada beberapa asuransi yang kami tahu, menyebutkan jika dalam tiga bulan berturut-turut tidak membayar premi, maka premi yang telah disetorkan dinyatakan hangus. Sungguh tidak adil bukan ? Sumber Ditambah lagi dengan pendapat dari beberapa ulama yang saya baca disini yakni Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi’i yang mengharamkan asuransi dikarenakan beberapa alasan yaitu :
- Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/ qimar)
- Asuransi mengandung unusr ketidak jelasan dan ketidak pastian (gharar).
- Asuransi mengandung unsur riba.
- Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya.
- Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang, namun tidak sama dan juga tidak tunai.
Oleh karena itulah, saya dan suami sepakat untuk tidak mengikuti asuransi apapun saat ini. Saya merasa #beratberasuransi karena dengan semua resiko yang membentang di hadapan kami, menurut saya asuransi itu tidak benar-benar bisa menjamin kelangsungan hidup kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H