Saya adalah salah seorang dari sekian juta mahasiswi psikologi yang ada di dunia ini. Bukanlah suatu hal yang bahkan sedikitpun terbersit dalam benak saya untuk menjadi seorang mahasiswi jurusan psikologi. Juga bukan salah satu dari cita-cita yang saya idamkan sejak kecil. Lalu mengapa saya bisa 'nyasar' ke psikologi?
Pada awalnya, saya bercita-cita sebagai seorang dokter. Cita-cita ini telah tertera dalam hati sejak saya ditanyai "mau jadi apa jika sudah besar nanti?" Keinginan yang entah muncul dari mana ini, sangatlah kuat. Saya senang sekali jika dapat menolong orang-orang yang sakit. Begitulah pikiran kanak-kanak saya ketika itu. Lagipula, saya tidak seperti kebanyakan teman-teman saya yang takut akan darah, jarum suntik, atau apapun yang berbau 'rumah sakit'. Karena cita-cita menjadi dokter itulah, akhirnya saya mengambil jurusan IPA ketika SMA.
Di IPA, kami belajar berbagai macam hal tentang alam, termasuk alam semesta. Maka, jatuh cintalah saya dengan yang namanya luar angkasa. Segala jenis planet, bintang, asteroid, dan hal lainnya, begitu menarik minat saya. Masih ada keinginan menjadi seorang dokter, tetapi juga tertarik dengan astronomi. Saya mencintai astronomi dan ingin menjadi seorang astronot. Jadilah saya bertekad untuk menjadi seorang astronot. 'Seorang astronot perempuan dari Indonesia" terdengar sangat menarik. Seperti Pratiwi yang menjadi astronot wanita dari Indonesia yang pertama. Sampai suatu ketika, semua orang mencemooh cita-cita baru saya yang begitu menarik. Ketika bimbingan dengan guru BK, beliau bertanya "kamu ingin bercita-cita jadi apa?", lalu saya dengan yakin menjawab, "Saya ingin menjadi astronot bu." Saya menjawab dengan senyum gembira dan mata yang mungkin penuh dengan kilauan bintang. Akan tetapi, Ibu guru BK saya langsung tertawa ketika saya baru saja menyelesaikan kalimat itu.
Dimana lucunya, sih? Saya berkata dalam hati. Ibu guru BK itu lalu mengatakan dengan penuh rasa merendahkan yang jelas-jelas saya rasakan, "Jadi astronot? Yang bener aja! Emangnya bakalan bisa? Mana ada astronot di Indonesia?" saya hanya merasa sedikit sakit hati karena cita-cita yang dihina. Kemudian, saya hanya menjawab, "Ya, emang ga ada bu, astronot di Indonesia. Tapi kan saya bisa ke luar negeri. Ke Amerika, Rusia, atau negara lain yang bisa mendukung cita-cita saya." Si Ibu hanya senyum merendahkan sambil berkata, "Yaudah, saya tulis deh. As-tro-not yah.." dengan mengeja kata astronot perlahan-lahan. Teman-teman serta ibu saya juga merespon dengan perilaku yang hampir sama. Saya merasa menjadi orang aneh karena bercita-cita lain dari kebanyakan orang.
Ketika ujian masuk perguruan tinggi tiba, saya memilih jurusan kedokteran karena orang tua saya lebih setuju dengan cita-cita saya yang satu itu. Saya memilih jurusan psikologi sebagai pilihan kedua. Mengapa? Karena di perguruan tinggi swasta tempat saya menuntut ilmu sekarang ini tidak ada jurusan lain lagi yang menurut saya 'mendingan'. Karena jurusan lain, selain sangat tidak saya minati, juga ada yang tidak saya suka. Maka jadilah pilihan kedua adalah psikologi. Bukannya masuk ke jurusan kedokteran, saya 'terpeleset' ke psikologi. Padahal saya merasa yakin dengan jawaban yang saya berikan ketika itu, karena soal yang ada tidak begitu sulit. Saya hanya berkata, Yah.. Sudahlah. Coba aja jalanin dulu. Kalo ga cocok, tahun depan pindah ke kedokteran. Ikut tes lagi.
Saya menjalani hari-hari saya sebagai mahasiswa psikologi, yang ternyata sangat menarik. Mempelajari kepribadian dan karakter. Mempelajari tentang individu dan mengapa individu bisa bertingkah laku tertentu. Menarik. Sangat menarik. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya di jurusan psikologi hingga selesai. Kalau ditanya, "Masih ingin jadi dokter?" jawaban saya adalah, "Masih ada, dan terus akan begitu." Karena di hati saya masih tertanam kuat keinginan untuk menjadi seorang dokter. Mungkin setelah menyelesaikan sarjana psikologi, saya akan sekolah S1 lagi sebagai dokter.
Yah, cita-cita akan tetap menjadi cita-cita, kan? cita-cita harus digantung setinggi langit. Dan cita-cita itu akan tetap menjadi tujuan dalam hidup saya. Cita-cita itu tak akan pudar ditelan waktu. Cita-cita itu tak akan jatuh ke tanah karena tertiup angin. Cita-cita itu akan tetap ada, apapun yang terjadi, apapun yang menghalangi, apapun yang menerpanya. Jadi, meskipun salah jurusan, yang berbeda dengan cita-cita, cobalah dulu jalani. Jika menarik dan menggugah minat kita, jalani sajalah dulu. Mungkin saja itu jalan terbaik yang diberikan sang Pencipta kepada kita untuk menjalani hidup kita di masa yang akan datang. Kita tak pernah tahu jalan mana yang terbaik untuk kita, kan? Hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segalanya.
createdby:Meredith
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H