Menaklukan ku bukan lah yang mudah.
Kau perlu membanting batin agar kuat bertahan. Bahkan mungkin kau akan perlu berpegangan pada seluruh ranting-ranting urat nadi mu agar mampu melawan semua keluh kesah selama memiliki ku. Bersabar di bawah terik panasnya emosi ku. Berdiri tegap di atas bukit bersama terpaan arah angin hidup ku. Dan bertahan dalam deburan badai gelombang di atas sampan rapuh ku.
Aku sungguh berharap kau mampu meskipun pada kenyataannya aku tak tega menjadi salah satu takdir mu, banyak dari jodoh-jodoh mu. Ku perhatikan bercucuran peluh mu. Senyum mu. Kontras pada semua yang aku bayangkan. Aku ingin kita memiliki satu hidup sederhana. Pemikiran-pemikiran sederhana yang tak perlu definisi, bahkan referensi filsuf-filsuf ahli kehidupan. Tapi nyatanya, aku terlalu membatu. Ego ku. Mungkin secara lemah ku nyatakan, “itu takdir ku.”
Ku ingat pada satu waktu ketika kau dengan tak letih menunggu ku bersama semua senyum-senyum kecil mu. Meraih tangan ku dan memberikan asa baru. Kemudian aku mulai berani melangkah serdadu. Bagai tentara-tentara nasional yang tengah maju berperang di lapang buru. Kau begitu setia melerai ego ku.
Ada pun satu kisah bersama mu ketika aku tak memiliki niat untuk melaju diantara kereta-kereta pesaing ku. Kau maju dan menunjukkan ku satu lorong menuju kemenangan ku. Tapi apa yang selama ini bisa ku berikan untuk mu?
Beban hidup dari semua gelisah dan gundah ku. Masa lalu dan rasa sakit ku. Amarah setelah jam-jam sibuk ku. Serta energi negatif yang ku lontarkan langsung pada mu. Kau menunduk dan menerima semua sikap ku. Dan aku pun akhirnya diam dan membelakangi mu.
Ini seperrti cerita yang sering ku ulang di tahun-tahun sebelum aku menuliskan tentang mu. Aku seperti selalu masuk pada cerita hidup yang sama hasil skenario handal. Seeperti sinetron di layar kaca yang ceritanya tak pernah berbeda. Dan aku meemerankan semua pola tingkah antagonis, yang merusak keharmonisan kehidupan si protagonis. Dan sekarang aku merenung. Membatu. Dan gagu. Diam membisu.
Aku sadar aku keliru. Atau hanya perasaan ku bahwa aku terlalu membebani mu. Andai kau di sini, aku ingin segera tahu jawab mu.
Sungguh, aku tak pernah bisa berharap lebih bahwa aku ingin bersama mu, karena aku tak mampu benar-benar membahagiakan mu. Mungkin tuhan benar, memberikan ku waktu sembilan musim lalu, agar aku tahu seperti apa itu berbagi rindu. Dan setelahnya aku bisa meluapkan rindu? Aku tak tahu. Mungkin, lebih baik aku sendiri dulu hingga aku benar-benar bisa menyayangi diri ku.
Untuk mu yang selalu ku rindu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H