Mohon tunggu...
Mercy Taroreh
Mercy Taroreh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang yang baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merajut Hidup Bermakna

5 Februari 2014   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saat ini, saya merasa seperti seorang remaja yang sedang mencari jati diri. Ibarat Sun Go Kong yang melakukan perjalanan ke Barat menemani gurunya untuk medapatkan sutra agama Budha. Inilah gambaran diriku sekarang. Seseorang yang sedang mencari apa makna hidup saya ? Kenapa saya hidup dan untuk apa saya hidup ? Saya sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

“Ke mana pikiran pergi, ke sanalah energi mengalir”, demikian sebuah kalimat bijak yang saya baca dalam buku Chicken soup for soul beberapa waktu yang lalu. Karena saya berpikir mencari jawaban atas pertanyaan apa makna hidup saya, maka pikirian ini pulalah yang menghantar saya bertemu dengan sebuah buku Yeremias Jena yang berjudul Merajut Hidup Bermakna.

Pada bab 2, Yeremias mengutip tulisan Carl Jungdemikian : “Bahkan sebuah kehidupan yang bahagia tidak mungkin ada tanpa kehadiran pengalaman akan kegelapan, dan kata bahagia akan kehilangan maknanya jika kebahagiaan tidak diimbangi dengan oleh pengalaman kesedihan. Jauh lebih baik menerima berbagai hal yang menghampiri kita dalam kesabaran dan keseimbangan.”

Kalimat ini mungkin dapat saya simpulkan dengan kita hanya bisa memahami bagaimana rasa bahagia itu apabila kita pernah merasakan kesedihan. Terkait dengan pernyataan ini, saya pernah punya pengalaman pribadi.

Menjadi mahasiswa pascasarjana, menjadi syarat bagi kami untuk lulus test Toefl dengan nilai yang telah ditentukan. Dan ini syarat yang berat bagi saya yang punya kemampuan bahasa Inggris di bawah rata-rata. Lebih dari sepuluh kali saya ikut tes, hasilnya gagal maning –gagal maning. Sedih rasanya hati ini, jika mengingat berapa banyak uang yang sudah saya keluarkan untuk ikut tes ini, berapa banyak energi yang telah terkuras untuk ikut tes ini. Kapan saya lulus ?

Untuk bisa lulus, sayapun berkeputusan mengerahkan segala daya upaya yang saya miliki. Selama berminggu-minggu saya hanya berfokus pada belajar Toefl, tidak ada yang lain. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, saya hanya berhadapan dengan materi ujian Toefl. Hingga akhirnya saya lulus. Begitu tahu saya lulus, saya sangat bahagia. Saya bisa merasakan apa itu bahagia, apa arti kata lulus, ini terjadi karena saya pernah merasakan kesedihan yang berulang-ulang karena tidak lulus.

Pelajaran hidup yang saya dapat dari pengalaman ini adalah jangan pernah takut gagal. Seperti kata Yeremias, kegagalan adalah bagian dari hidup. Yang membedakan kita dari orang lain adalah apakah kita terus bersedih karena gagal atau kita bangkit lagi untuk memulai perjalanan. Jangan sampai kegagalan membuat hidup tidak bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun