Pagi-pagi sudah nonton pilem di tipi, Cita-citaku setinggi Tanah, tahun lalu saya nonton pilem ini dgn mb En di Studio 21 Amplaz. Dua kali sudah nonton pilem ini, ceritanya keren dan sederhana. Cita-cita seorang Agus yang sederhana : "Makan di Resto Padang". Shuting pilem ini di Muntilan, satu kalimat inspiring: Cita-cita itu jangan hanya ditulis tapi di wujudke',saat Agus ngeyel jawab teman-temannya yang nanya PR menulis karangan tentang cita-citanya sudah selesai atau belum.
Berbagai upaya dilakukan Agus tuk wujudkan cita-citanya, menahan diri tidak ikut jajan dengan teman-temannya, merelakan waktu main dengan teman-temannya diganti bekerja bawa ayam ke resto padang serta cari keong tuk di jual. Sebagai penyemangat dia selalu nyanyikan lagu "Kampuang nan jauh di mato gunuang sansai baku liliang.."
Mewujudkan cita-cita bukan berarti tak menemui tantangan, tantangan datang ketika uang yg berhasil ditabungnya jatuh dalam perigi, ketika Agus sedang timba ambil air. Sedih amat sangat, dan membuat Agus ragu apakah cita-citanya akan tercapai ? Dalam kesedihannya Agus duduk termenung di depan rumahnya, tak berapa lama datang seorang mbah tetangganya, dan beri dia nasehat "Rejeki itu tidak pernah pergi, hanya menunggu waktu yang tepat untuk datang kembali.
Perkataan mbah ini terbukti benar, ketika subuh, eyang utinya pamitan karena akan balik ke Jogja, utinya berharap saat liburan sekolah, Agus mau ke rumah eyangnya di Jogja, dan akhirnya sambil celingak celinguk, dan sembunyi-sembunyi eyang uti memberinya uang untuk jajan, jumlahnya lumayan ada 50-50 ribuan yang tergulung. Agus langsung memeluk eyang utinya sambil berderai airmata berucap terima kasih.
Dan pagi haripun terlihat amat sangat cerah bagi Agus, mentari yang menyirami Muntilan dengan pemandangan gunung Merapi terlihat sangat asri dan indah, dengan wajah yang riang, Agus mengayuh sepedanya menuju sekolah.
Hari itu, Agus membacakan karangan tentang cita-citanya di depan kelas di hadapan guru dan teman-temannya, demikian :
Nama saya Agus Suryo Widodo, ayah saya bekerja di pabrik tahu, ibu saya pintar sekali memasak tahu bacem. Pagi makan tahu bacem, siang tahu bacem dan malam pun tetap tahu bacem. Ini menu setiap hari keluarga kami. Itulah sebabnya saya bercita-cita makan di restoran padang, yang menunya bermacam-macam dan mewah.
Di penutup karangannya Agus berkesimpulan dalam mewujudkan cita-cita harus sabar dan pantang menyerah. Cita -cita itu bukan untuk ditulis tapi untuk diwujudkan.
Pilempun selesai.
Suka dengan film ini. Sederhana namun sarat makna. Tontonan-tontonan seperti inilah yang harusnya ditayangkan di tipi-tipi kita.
‪#‎Bersenandung :
Takana Jo Kampuang
Induk Ayah Adik Sadonyo
Raso Mangimbau Ngimbau Den Pulang
Den Takana Jo Kampuang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H