Hatiku bukan pintu yang bisa kau buka dan tutup sesuka hatimu. Bukan pula jalan setapak yang bisa kau lalui tanpa permisi, lalu pergi begitu saja tanpa jejak. Hatiku adalah taman yang terawat, dipenuhi bunga-bunga rapuh yang mekar dengan cinta dan harapan.
Kau datang dengan senyum menawan, menjanjikan musim semi abadi. Kau sirami setiap kelopak dengan kata-kata manis, hingga aku terlena dalam ilusi indah. Tapi saat mentari mulai terik, kau menghilang tanpa pesan, meninggalkan hatiku kering dan layu.
Aku mencoba mengerti, mungkin kau kupu-kupu yang tak terikat, bebas terbang ke mana pun kaki angin membawamu. Tapi setiap kali kau kembali, entah dari mana, dengan sayap penuh serbuk sari bunga lain, luka lama kembali menganga.
Aku bukan pelabuhan tempatmu berlindung dari badai, lalu pergi saat cuaca cerah. Aku bukan tempat persinggahan sementara, yang bisa kau singgahi sejenak untuk melepas lelah, lalu melanjutkan perjalanan tanpa beban.
Hatiku adalah rumah, tempat berlindung dari dinginnya dunia. Tempat pulang saat kau lelah mengembara. Tapi rumah ini bukan penginapan, yang pintunya selalu terbuka untuk siapa saja.
Suatu hari, saat kau kembali dengan senyum yang sama, aku takkan membukakan pintu. Bukan karena aku tak lagi peduli, tapi karena aku belajar menghargai diri sendiri. Aku belajar bahwa hatiku terlalu berharga untuk disia-siakan, untuk dijadikan tempat persinggahan sementara bagi mereka yang tak tahu arah tujuan.
Aku akan menanam bunga-bunga baru di taman hatiku, bunga-bunga yang kuat dan tak mudah layu. Bunga-bunga yang tak membutuhkan perhatianmu yang tak pasti. Bunga-bunga yang akan mekar dengan sendirinya, dengan cinta dan harapan yang baru.
Hatiku bukan pintu yang bisa kau buka dan tutup sesuka hatimu. Hatiku adalah taman, dan akulah penjaganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H