***
Permasalah klasik keuangan negara kita adalah besar pasak daripada tiang. Makanya tiap tahun Indonesia harus menambah hutang, untuk menutup defisit. 38 tahun sejak mulai orde baru, pertumbuhan hutang terus positif. Tren pertumbuhan hutang baru bisa negatif di zaman SBY. Artinya, pelan2 Indonesia sudah mulai melunasi pokok hutang, alih2 menambah hutang baru. Meski sedikit, berkurangnya pokok hutang, paling tidak dapat mengurangi beban APBN atas biaya bunga.
Kembali ke postur APBN. Dengan sumber pemasukan itu2 saja...mustahil mengharap postur APBN jadi lebih capable. Konsekwensinya, belanja negara juga itu2 saja. Jangan berharap negara punya proyek atau program2 prestisius...buat memelihara aset/infrastruktur yang sudah ada saja harus digilir sesuai prioritas. Untuk membangun pembangkit listrik, jalan lintas, jembatan, pelabuhan, RS, sekolah, harus bener2 dipilih mana yang sangat sangat prioritas, meskipun semua mendesak.
Tentu sangat kontras bila mau membandingkan antara luas dan kayanya sumberdaya alam Indonesia dengan postur APBN. Bagaimana mungkin negara yang dianugrahi kekayaan alam yang luar biasa ini, punya dompet yang begitu minimalis? Bahkan untuk memenuhi kebutuhan belanja minimal saja, negara harus menambalnya dengan hutang.Â
Dimana letak permasalahannya? Sebenarnya sederhana. Seluruh kekayaan alam negeri ini tidak sepenuhnya menjelma menjadi koin-koin yang mengisi pundi2 negara, tapi lebih mengisi pundi2 pribadi. Pundi-pundi pribadi siapa? Tentu mereka2 yang punya kesempatan untuk mem-by-pass aliran kas sebelum masuk ke rekening negara. Bagaimana caranya? Modus operandi bisa macam2, tergantung darimana sumber penerimaan negara yg mau di by-pass. Tapi prinsip yang digunakan tetap sama, prinsip kerja makelar. Detilnya mungkin akan disampaikan pada kesempatan lain.
Singkat cerita, kalau ada 1000T yang seharusnya masuk kas negara, maka yang betul-betul masuk mungkin hanya 200T. Jumlah 200T lah yang dicatat di sisi penerimaan dalam APBN. Kemana yang 800T? Tentu tidak mudah menyembunyikan kekayaan sebesar itu. Meski database informasi di Indonesia belum tersentralisasi dan sepenuhnya digital, seperti di negara2 maju, tetap sulit menyimpan kekayaan sebesar itu baik dalam bentuk likuid maupun non likuid di Indonesia. Cara paling mudah, murah dan aman adalah dengan menempatkannya di negara2Â tax heaven country.Â
Kenapa negara tax heaven? Karena negara2 tersebut tidak peduli asal usul harta, tidak ikut perjanjian pertukaran informasi dengan negara lain, dapat memfasilitasi pendirian paper company, dan hampir tidak memajaki harta yg ditempatkan di negara mereka. Maka larilah uang-uang tersebut ke tax heaven country. Hampir dari seluruh kejahatan kerah putih. Itulah fakta kebocoran yang nyata, riil dan terjadi. Dan amat disayangkan kenyataan itu malah menjadi bahan olok2 saat debat capres yang lalu.
Kalau tidak percaya, sebenarnya tinggal buktikan saja dari komposisi penerimaan negara. Penerimaan negara, 86% nya dari perpajakan. Artinya Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak lebih dari 14%. Di APBN-P 2016, PNBP hanya 245T, dari total penerimaan sebesar 1.784T. Di dalam 245T tersebut ada dana bagi hasil migas, iuran royalti sektor minerba, iuran dan pungutan sektor kehutanan, laba bersih BUMN, dan pemasukan2 lainnya.
Dari sektor migas dan minerba saja harusnya kontribusi sudah jauh diatas 250T, mengingat ada ribuan jumlah blok migas dan tambang dari sabang sampai merauke, dari Arun sampai Freeport. Lifting minyak cuma dilaporkan sekitar 800 barel/hari, sementara di lapangan, siapa yang bisa menjamin tidak ada pipa2 yang mengalir ke lepas pantai langsung masuk ke tenker2 yang sudah standby.
Belum lagi sektor kelautan, kehutanan, dan perkebunan. Perhatikan statistik perdagangan komoditi dunia. Mengapa malaysia dan singapura yg notabene wilayah hutan dan kebunnya jauh lebih kecil dari Indonesia bisa punya produksi CPO, Karet dan kayu jauh lebih besar dari produk Indonesia.
Kontribusi BUMN juga memprihatinkan. Setoran laba bersih ke kas negara tidak sebanding dengan kapitalisasi asetnya. Padahal mereka perusahaan2 bonafit kelas dunia. Malah ada yang rugi terus menerus.