Mohon tunggu...
MERAH BERANI
MERAH BERANI Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis berbagai isu untuk mencerahkan publik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya menulis untuk mengedukasi masyarakat. Tidak atas dasar pesanan siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tekad Keras Badjuri, Dapatkan Penerangan Listrik demi Pentingnya Edukasi

26 Mei 2020   10:39 Diperbarui: 26 Mei 2020   12:29 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Badjuri Surodikoro. Saat itu, usianya masih 55 tahun. Masih sangat kuat. Ia seorang petani sawah di Dusun Jambean Desa Karang Kulon, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bayangkanlah sebuah desa pelosok di Magelang tiga dekade silam. Tahun 1988.

Badjuri sangat ingin rumahnya berlistrik. Tapi, lokasi rumah itu amat jauh dari jalan raya, melewati kebun-kebun bambu, sehingga membuat mimpi itu tak bisa terwujud waktu itu. PLN pun sudah angkat tangan memenuhi keinginan itu. Biayanya terlalu besar menyambungkan listrik, menembus lebatnya pepohonan, hingga memasang meteran listrik di rumah bapak tiga anak itu.

Cita-cita Badjuri sebenarnya cuma satu. Anak-anaknya bisa belajar dengan penerangan lampu memadai. Bukan dengan lampu petromaks yang harus dipompa, lalu ganti minyak, dan dipompa lagi ketika nyala mulai redup. Bikin sakit di mata, bikin semangat belajar cepat melemah.

Tibalah sebuah akal di pikirannya. Badjuri menarik setrum listrik dari rumah kerabatnya yang ada di tepi jalan raya. Yang sudah dialiri listrik.

"Dari rumah, Bapak membeli kabel bergulung-gulung untuk menyambung listrik ke rumah. Suatu saat ada operasi dari PLN, kabel kami disita," kenang Fatimah Rita Sahara, salah seorang anak Badjuri.

Badjuri tak patah semangat. Ia tahu, listrik resmi sampai rumahnya mahal harganya. Tapi demi anak-anaknya bisa belajar nyaman, ia membeli kembali bergulung-gulung kabel untuk menyambung listrik dari pinggir jalan utama hingga rumahnya.

dokpri
dokpri
Tak lama, PLN kembali menggelar razia, dan kabel itu pun disita lagi.

"Dua kali disita. Tapi Bapak tetap berkeinginan kuat agar anak-anaknya bisa belajar dengan baik," kisah Fatimah. Meski hanya seorang petani padi, Badjuri punya wawasan luas. Selain bertani, ia tak jarang terpaksa menjual pohon demi anak-anaknya bisa mendapat buku baru.

"Sewaktu saya kecil, koleksi buku karya Hamka lengkap, Saya khatam bacanya di kelas 3 SD. Dari kisah 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wick', 'Di Bawah Lindungan Kabah', juga bacaan lain seperti 'Iman dan Pengasihan', novel Marah Roesli 'Siti Nurbaya', dan lain-lain," kenangnya.

dokpri
dokpri
Ingin terus menyalakan semangat membaca anak-anaknya, Badjuri kemudian kembali membeli kabel yang panjangnya hampir satu kilometer itu.

"Demi menghindari razia petugas, pagi hari kami mencopot kabel, dan sore hari kabel kembali dipasang, karena takut disita," ungkapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun