Mengendus harga Avtur yang melambung tinggi di dunia burung besi, maka ‘Hak Inisiatif’ pun digunakan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk mulai menyelidiki persoalan harga Avtur, meski belum ada laporan resmi yang diajukan dari pihak penerbangan mana pun. Praktek dagang yang mengarah pada monopoli-kah?
Berikut ini disajikan beberapa data dari Garuda Indonesia (GI), terkait dengan masalah konsumsi Avtur:
1.Harga Avtur di Jakarta US$ 3,3 / galon
Harga Avtur di Makassar US$ 3,6 / galon
Bandingkan dengan di Kuala Lumpur International Airport, harga Avtur duduk manis pada US$ 3,03 / galon
2.Komponen biaya Avtur adalah sebesar 25% dari biaya total operasional. Yang segera bisa langsung melonjak naik menjadi 40 % kala dollar bernilai Rp 12.000/USD
3.Rupanya Avtur dibeli dengan lembaran dollar, sedangkan harga tiket penerbangan Garuda (Pendapatan) seperti yang kita ketahui adalah dalam rupiah. Akibatnya loss yang harus ditanggung perusahaan penerbangan BUMN ini sebagai berikut:
-Kerugian semester I 2013 mencapai US$ 201,02 juta
-Kerugian semester I 2014 mencapai US$ 211,73 juta
4.Harga jual Avtur di 24 kota di luar negeri, misalnya Singapore, Amsterdam, Tokyo, mengambil untung/margin hanya 5% maksimumnya, diperhitungkan dari harga acuan (seperti yang tercantum dalam Market Oil Prices). Sedangkan di Jakarta, Avtur bisa mengambil margin hingga 15% . Apalagi di Papua, angka marginnya bisa lebih dari 15% .
5.GI menghabiskan Avtur 1,8 miliar liter/ tahun
6.70% dari konsumsi Avtur ini diambil dari ‘pemasok’ domestik tunggal, yaitu Pertamina.
7.Tender Avtur yang dilakukan GI di luar negeri bisa melibatkan sampai 3 perusahaan supplier bahan bakar pesawat ini. Dengan demikian masih dimungkinkan terjadinya proses tawar-menawar (mekanisme pasar). Sedangkan di Indonesia, melalui Pertamina, hanya bisa bernegosiasi masalah diskon saja, yang tentunya tidak besar jumlahnya jika pun ada.
Karuan saja, Pertamina menampik keras atas julukan ‘sang monopolis’ yang ditujukan padanya, dari para konsumen. Di bawah ini adalah beberapa alasan pembelaan diri oleh Pertamina:
1.Jarak Kilang – Bandara Berjauhan
Letak kilang minyak, khususnya Avtur, berlokasi cukup jauh dari bandara-bandara Udara. Misalnya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, di Tangerang (Banten) harus menunggu pasokan Avtur dari kilang Pertamina di Cilacap (Jawa Tengah), atau kilang-kilang dari Dumai, Riau, dan Balik Papan.
Jika dibandingkan dengan Singapore Changi Airport, kilangnya terletak langsung dalam satu kompleks, dekat bandara tersebut.
Namun alasan ini dipatahkan dengan fakta bahwa di Bandara Sepinggan (Balik Papan) yang walaupun berdekatan jarak kilang – bandaranya, toh harga Avturnya tetap saja tidak bisa secara otomatis menjadi murah.
2.Teknologi Kilang dan Bahan Baku-nya (Biaya Produksi) berbiaya Tinggi
Kilang Pertamina awalnya didesain untuk mengolah minyak mentah (jenis light sweet) menjadi premium, solar, dan kerosin. Biaya pengolahannya mahal namun tidaklah mungkin mengubah disain (redesign) kilang begitu saja menjadi lebih modern. Bahan bakunya juga mahal.
Sedang di Singapore minyak mentah yang diolah berasal dari Timur Tengah dengan kandungan belerang yang lebih tinggi, plus teknologi kilang modern yang digunakan, membuat biaya produksi kilangnya menjadi lebih murah (efisiensi tinggi).
3.Area Pasokan terlalu Luas
Pertamina harus memasok Avtur untuk 62 bandara di seluruh Indonesia.
Bandingkan dengan Singapore yang hanya mengurus satu bandara.
4.Fee yang Harus dibayar
Indonesia harus membayar fee sebesar 0,3% yang kepada pihak Angkasa Pura sebagai pengelola bandara. Selain itu juga menyetor fee kepada BPH Migas sebesar 0,3% pula. Sedangkan Singapore menerapkan kebijakan pembebasan pajak /pungutan di Changi Airport.
5.Subsidi Silang
Walau harga Avtur di bandara Changi Singapura lebih murah, tetapi di bandara khusus pesawat pribadi di negara tersebut yakni Paya Lebar Airport, segalon Avtur dibanderol dengan harga cukup tinggi : US$ 4,4
6.Tidak ada yang mau
Pertamina sebenarnya sudah membuka pasar Avtur lebar-lebar kepada jagat,  dengan demikian ia tidak bisa dikategorikan memonopoli. ‘Pionir’ Avtur tersebut menganalogikan bisnis  Avtur tersebut dengan komoditas Elpiji, dimana tak satu pun produsen minyak/gas yang tertarik terjun ke dalamnya. Perusahaan raksasa Shell saja hanya mampu bertahan bekerja sama selama 3 -4 tahun di masa lalu.
Menurut Pertamina, logikanya ada pertimbangan bisnis yang tidak menguntungkan dari bisnis Avtur ini, atau bisa karena faktor ‘X’ lainnya. Faktor-faktor penghalang (entry barriers) tersebut di antaranya :
- Ongkos angkut / transportasi
- Biaya penyimpanan
- Infrastruktur distribusi
7.Jangan mau enaknya sendiri
Pertamina mengaku ‘tidak rela’ jika sampai ada supplier lain (new entry) yang hanya mau memasok bandara-bandara besar, misalnya Jakarta dan Surabaya saja, namun juga harus sudi men-supply ke bandara-bandara kecil di pelosok Nusantara. Plus, pemasok baru semestinya turut menanggung pembangunan infrastruktur-nya sekaligus.
8.Open Access
Pemain baru ‘diwajibkan’ bekerja sama, menggandeng supplier ‘senior’nya yakni Pertamina. Alasannya, Pertamina sudah lebih dulu memiliki fasilitas di sejumlah bandara seluruh penjuru Nusantara. Menurut aturan BPH Migas, siapa pun yang memasok Avtur harus memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sudah ada, alias bersifat ‘open access’. Tujuannya agar terjadi efisiensi dan optimalisasi pelayanan penerbangan. Materi negosiasi lainnya adalah tentang kalkulasi hitung-hitungan tingkat harga jualnya, tentunya.
Ah apa kata Jean Tirole, pemenang Nobel Ekonomi 2014 mengenai masalah ini ya?
(Disarikan dari majalah Tempo 19 Oktober 2014, halaman 96 – 97)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H