Mohon tunggu...
Fajar Mera
Fajar Mera Mohon Tunggu... -

civil society

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Capres Kuda Putih Bukan Kuda Hitam

10 Januari 2014   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memory saya sejenak kembali kemasa kecil, pada saat itu saya diberi pemahaman soal ragam warna beserta artinya oleh Paman. Paparan sederhana dan terkesan dogma dari Paman saya terkait keragaman warna plus maknanya. Dua warna yang menarik perhatian saya yakni hitam dan putih. Sebab, menurutnya dua warna ini memiliki makna kontras yakni hitam melambangkan sisi negtive sementara putih melambangkan positive, itu yang saya tangkap secara sederhana.

Pemilihan presiden yang sedianya digelar pada tahun ini (2014) memunculkan banyak sepekulasi, disamping banyak kandidat yang menjual diri untuk dipilih. Demokrasi yang belum subtansive lantaran selera pemilih yang hanya melihat image menjadi ujian bagi kelangsungan bangsa ini. Jangan lupa kita punya pengalaman pahit lantaran mendapat pemimpin hasil pencitraan yang pada akhirnya dinilai tidak sukses memimpin.

Banyaknya calon yang wara-wiri merasa pantas memimpin Indonesia, melahirkan penilaan terhadap khans para kontenstan pilpres. Penilaian ini biasanya dilakukan melaui hasil survey media massa ataupun lembaga survey yang katanya kredibel. Takbisa disangkal, penilain ini cenderung didorong oleh opini media yang memang menjadi kekuatan penting dalam mempengaruhi para pemilih diera kebebasan informasi saat ini.

Dari hasil penggalangan opini itu munculah elektabilitas yang dinilai dengan beragam indikator, dengan menempatkan gread para kontestan dari mulai yang menempati tiga besar hasil survey, sampai sepuluh besar atau yang biasa dilabeli sebagai capres-capres Kuda hitam. Label Kuda hitam ini, tersemat lantaran si capres dinilai potensial namun kurang suskses dalam mejalankan program sosialisasi pencapresannya.

Kondisi tersebut harusnya makin menjadi tantangan bagi para kandidat untuk membuktikan pada masyarakat bahwa mereka pantas dipilih. Salah satu contohnya adalah Prof. Yusril Izah Mahendra, SH, mantan mentri yang lolos jerat kasus korupsi ini, dinilai cukup potensial secara individu. Selain dia menjadi motor dari Partai Bulan Bintang, kiprahnya dalam dunia hukum di Indonesia cukup prestisius, tidak sedikit sumbangsinya terhadap khasanah hukum di Indonesia. Namun sosok yang sempat memiliki khans menempati posisi presiden di era 1999 ini nampaknya masi perlu bekerja ekstra keras untuk bisa membuka mata masyarakat tentang kemapuannya tersebut.

Lain lagi kisahnya dengan seorang DR Rizal Ramli, mantan mentri sekligus ekonom ini terkenal sebagai salah seorang capres alternative. Namun, sosok pakar ekonomi ini yang terkesan tidak mau berdekatan dengan partai politik menjadi satu persoalan tersendiri, sebab mekanisme sebagai capres harus diusung oleh parpol, itupun dengan catatan lulus presiden tresold. Setrateginya menggelar konvensi rakyat untuk menjaring capres alternative masi perlu disosialisasikan.  Wacana pencampresan melalui konvensi itu baru diketahui kalangan menengah keatas.

Masyarakat cukup berharap, hasrat para kandidat untuk memimpin bangsa ini dilakukan sepenuhnya demi kepentingan bangsa indonesia kedepan. Para capres ini diharapkan menyajikan prestasi nyata pada bidang-yang mereka geluti bukan dilatari ego buta. Memang, kreativitas dalam sosialisasi sah-sah saja dilakukan namun jangan sampe memanipulasi kondisi obyektive si capres karena jelas Indonesia bukan butuh pemimpin yang hanya jago bercitra.

Menarik untuk diulas kisah para capres yang sekarang menjadi mentri dikabinet SBY. Para capres ini cenderung menjadikan program-program kementrianya sebagai kuda tunggangan untuk kampanye, pada akhirnya kinerja kementrian itu hanya sebatas sebagai kepentingan si mentri untuk kepentingannya sebagai capres. Para kandidat ini bahkan jadi terkesan naif bahkan kontroversial, lantaran program tersebut tidak dirasakan soleh masyarakat luas secara nyata bahkan terlihat sebatas carmuk untuk naikan popularitasnya.

Gita wiryawan misalnya, sosok yang ikut dalam konvensi Partai Demokrat ini sempat dikritik lantaran fotonya selalu nampang dibaliho atau barner yang mensosialisasikan program kemetrian yang dipimpinnya belum lagi kemunculannya dibeberapa acara TV yang tidak ada kolerasinya dengan program kerja kementiannya, sementara pada saat bersamaan harga kedelai, cabai sampe bawang putih melambung hebat lantaran harus di import dari negara luar.

Anti klimaks juga terjadi pada sosok Dahlan Iskan selaku meneg BUMN, dia terkesan selalu cari sensasi dengan lakukan hal-hal yang tidak medorong kinerja kementriannya. Melambungnya haraga Elpiji, beberapa hari lalu memicu kontroversi lantaran kenaikannharga Elpiji dibatalkan oleh Pertamina selaku BUMN yang mengurusi soal itu setelah mendapat kecaman serius dari masyarakat. Belum lagi jika kita soroti belum maksimalnya kinerja PLN, pasokan listrik diluar jawa yang masi jauh dari kata ideal tentunya menjadi preseden buruk bagi PLN yang notabennya BUMN yang pernah dipimpin DI. kalo dilihat dari hal itu tentu wajar muncul kesangsian sebab bagaimana sosok DI ini mampu urus negara jika sebuah kemetrian saja tidak mampu dimanage dengan ideal apalagi sosok yang dipanggil DI ini dikabarkan sedang terjerat masalah korupsi.

Memang, untutk mendapatkan kepeminpinan yang ideal itu tidak mudah, namun dengan peranserta segenap kalangan masyarakat terutama mas media sebagai corong opini pulblik. Harusnya bangsa ini bisa menemukan sosok ideal. Media massa yang dinilai sukses menggenjot figur SBY waktu itu harus mengambil tanggung jawab atas kondisi kepemimpinan bangsa saat ini. Media harus berangkat dari niat tulus melalui acuan, Indonesia lebih membutuhkan pemimpin yang tidak dibentuk oleh opini sesat tetapi memang betul-betul sosok yang kredibel dan berkwalitas.

Melalui jaringan dan pengaruh media yang terbukti cukup masive dan manjur tentunya hal ini bukan urusan yang cukup berat. Meski demikian, semuanya kembali pada nurani dan orientasi media sebagai pemegang  arus informasi ke masyarakat. Sekali lagi yang perlu diingat media massa yakni rakyat menunggu “Capres Kuda Putih” yang tidak diberitakan media kerena membayar tapi diberitakan media karena kinerja dan kwalitasnya sebai sosok yang mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun