Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Luka yang Tersenyum

16 November 2019   08:04 Diperbarui: 16 November 2019   08:08 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua ekspresi sedih adalah menyedihkan. Tak semua ekspresi sedih membuatmu terus-menerus merasa terluka.

Kesedihan juga berbicara soal waktu. Suatu saat nanti, sedihmu akan berganti menjadi kelegaan karena kamu lah salah satu orang yang terpilih untuk merasakannya.

---

Luka seringkali hadir untuk melembutkan hati. Luka seringkali memilih kita sebagai perantara kekuatan untuk manusia lain. Karena luka pun percaya, kita yang mendapat luka adalah orang-orang kuat yang terpilih untuk merasakannya. Luka percaya, kita adalah orang baik yang akan bercerita tentang luka yang tak selamanya berarti jahat. 

Ketika luka hadir, ia tidak disambut, tapi ketika ia sudah pergi .. efek kebaikannya sungguh luar biasa.

Ketika ia pergi, biasanya kita akan berbicara, "inilah pembelajaran hidup," dan seringkali lupa bahwa semua itu karena luka yang berhasil kita damaikan. Kita lupa, kita lah yang berkontribusi besar dalam proses penyembuhan luka itu. Kita lupa berterima kasih pada diri sendiri yang sudah lama berjuang. Mungkin, hidup kita selama ini adalah kumpulan luka yang berhasil kita obati. 

---

Kita yang hebat dan kuat, sementara luka dan hidup saling berdampingan untuk membantu, mereka hanya membantu, mengadakan diri untuk kamu, untuk kita, untuk aku, agar lebih berempati, karena tak mungkin, luka yang sama akan kita terima semuanya. Kita butuh cerita tentang luka.

Mungkin, saat ini kesedihan atas luka adalah rasa yang luar biasa ingin kita lepaskan. Tapi bersyukurlah ada yang namanya personifikasi, hingga aku bisa membayangkan, dan mungkin kamu juga ... luka itu tersenyum ketika kita berhasil menaklukan semua rasa negatif karena kehadirannya.

Si luka tersenyum, sebuah kontradiksi yang bisa jadi sulit dipahami. Tapi begitulah, salah satu cara untuk memahami luka. Salah satu jalan untuk melihat luka bukan lagi menjadi hal yang selalu dihindari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun