Pernah ga? Saat kita merasa... ga ada satu orang pun yang bisa diajak berbagi lagi, kemudian kita mencoba berdialog dengan diri sendiri.
Ya. Berdialog. Bukan monolog.
Berdialog dengan hati yang entah, sudah berapa lama tak pernah kita sapa lagi. Sampai kita ga tau secara pasti, apakah hati kita masih sehat-sehat saja atau sedang sakit. Coba kita imajinasikan, itu pun kalau kamu bersedia. Aku coba berikan satu contoh dialog dengan hati:
Ga setiap orang bisa mengerti dan memahami keadaanmu. Jika di masa lalu ada orang-orang yang tidak mempedulikan kelemahanmu, tidak peduli apakah mereka dianggap olehmu, atau mereka yang terima apa adanya dirimu sejak pandangan pertama, jangan terlalu banyak berharap di masa kini atau masa depan kamu akan menemukan orang-orang seperti mereka.
Bukan berarti orang-orang seperti mereka tidak akan pernah ada lagi di lingkungan barumu, tapi menaruh harap berlebihan pada orang lain akan membuatmu kerepotan, apalagi kalau kamu punya riwayat tidak menyenangkan dengan "harapan" atau bahasa lainnya "ekspektasi."Â
Bagaimana cara melepaskan ekspektasi ini?
Tanyakan pada diri sendiri, apakah yang kamu harapkan dari mereka?
Apakah dengan menaruh harapan pada manusia secara berlebihan lantas membuat hidupmu merasa tenang dan aman? Atau jangan-jangan ada ketakutan yang selama ini tak kau sadari?
Bertanyalah ke dalam diri secara jujur, meski pahit, itu adalah titik awal untukmu menjadi diri sendiri, yang paling menguatkanmu setelah Tuhan.Â
***
Gimana? Ini contoh dialog saat saya mulai lelah dengan konsep ekspektasi terhadap manusia. Dengan terbatasnya pemahaman tentang manusia, saya mencoba menggali keinginan terdalam saya, yang dianggap sebagai akar dari permasalahan, karena masalah saat itu terkait dengan ekspektasi.
Pengalaman pertama tak mudah. Rasanya perih sekali untuk jujur karena diri sendiri ingin menjadi manusia yang baik-baik saja, dan menyadari ternyata hati sedang tak baik-baik saja ternyata sangat tidak mengenakan.