Mulai dari diri kita, kebaikan itu tercipta. Mulai dari diri kita, untuk tidak menyuarakan kebohongan. Dan mulai dari diri kita, kedamaian itu bisa terasa.
Sebelum kita mulai beberapa topik pembicaraan di dunia maya ini, saya ingin mengajak Sobat Kompasiana merefleksikan diri. Tidak sendirian, tapi kita bersama-sama.Â
Kita tidak akan pernah memahami maksud perkataan orang lain jika kita belum mampu memahami apa yang kita bicarakan, dan apa tujuan dari ucapan kita. Kita akan namai obrolan ringan kali ini dengan "Mulai dari Diri Kita".Â
Mari kita mulai memejamkan mata, menyusup ke dalam jiwa, menyusuri ruang-ruang kritis hidup, dan bertemu dengan hati kecil kita. Tau kah? Ia lah suara hati yang mungkin sering kita abaikan karena kita terlalu fokus dengan dunia kasat mata. Ia lah suara hati yang selama ini mengerem perilaku-perilaku kurang baik, dan ia lah yang paling merasa sakit jika kita kecewa dengan seseorang.Â
Jadi, mulai lah memahami eksistensi suara tersebut, agar kita tidak kehilangan diri dan arah. Agar kita mudah bangkit saat mempertanyaan eksistensi kehidupan kita di dunia ini. Agar kita tidak pernah ragu untuk tetap bangkit setelah jatuh.Â
OK. Sekarang kita akan ngobrol lebih santai. Pernah nggak Sobat melihat beberapa komentar netizen yang acapkali membuat kita heran, betapa mudahnya mereka terbawa arus? Tidak masalah kalau mereka terbawa oleh arus kebaikan, bagaimana jika arus itu membawa kita pada ketinggian air terjun  yang terjal, yang kalau jatuh pasti mati. Kematian di sini hanya lah perumpamaan. Kematian yang dimaksud adalah kematian hati, perasa, atau pikiran.Â
Kita bisa cek bersama arti dari "kematian" di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kematian artinya kehilangan nyawa. Nyawa ini yang membuat seseorang hidup, dan tentu saja, hidup seorang manusia itu tidak sesederhana membuka mata, tetapi ada proses yang kompleks, mulai dari fisiologis hingga kita kenal dengan yang namanya psikologis. Kalau kita bawa lebih dalam, kehidupan psikologis ini sama pentingnya dengan fisik.Â
Tanpa fisik (raga), psikologis itu tidak dapat berjalan. Satu hal penting di sini, semua manusia punya dua komponen penting ini. Setiap harinya, kita tidak hanya hidup dengan badan ini, yang sedang kita gunakan untuk berjalan, duduk, atau belajar. Saat membaca tulisan ini, psikologis Sobat juga akan terstimulasi. Sobat akan berpikir dan berusaha mencerna "Apa sih yang mau dikatakan orang ini?"Â Yap! Ada proses berpikir. Setelah itu, ada perasaaan tertentu yang hadir, apakah itu kelegaan, kebingungan, atau feeling something new from this post.Â
Saat Sobat mulai memahami proses yang terjadi di dalam diri Sobat saat ini, artinya tulisan ini sanggup membawa Sobat pada kesadaran bahwa Sobat sedang berusaha berpikir, mencerna inti dari tulisan ini. Rasanya? Mungkin terasa pusing, belibet, dan sebagainya. Karena sepertinya tulisan ini lebih merujuk pada upaya pendalaman diri, bukan permukaan saja, bukan hanya sekadar senang, tapi menyadari apa sumber kesenangan ini. Â
Tulisan ini bukan pernyataan umum bahwa memahami diri sendiri adalah mutlak, meskipun menurut saya ini adalah keharusan. Sekadar mengingatkan, tanpa memahami diri sendiri, kita akan lupa, kita sedang berbicara atas nama siapa? Tanpa memahami keinginan sendiri, kita tidak bisa menyampaikan satu pesan pun dengan benar.Â
Semua komunikasi dimulai dari diri kita. Kita ingin menjadi orang yang tidak mudah terprovokatif, berarti kita bisa mulai dengan membuka diri pada kebenaran, mencari sumber terpercaya, dan mau menerima informasi dengan kepala dingin, tidak mudah tersulut emosi negatif, dan berusaha open-minded.Â