Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kaca Mata itu bernama Kemanusiaan

26 Mei 2023   20:48 Diperbarui: 26 Mei 2023   21:51 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

persoalan kemanusiaan di Papua bukan saja soal orang asli Papua tapi semua orang yang tinggal di Papua juga yang tinggal di luar Papua tetapi punya "kepentingan" di Papua harus duduk bicara bersama. Mengapa harus duduk bicara bersama? Jawabannya Karena Konflik kemanusiaan yang terjadi sungguh sangat miris. Lagi-lagi setiap hari  kita selalu mendengar kabar soal penembakan dan pembunuhan, konflik “berdarah”yang tidak pernah berkesudahan yang terjadi di atas tanah ini. Semua orang sudah ‘muak’ dengan situasi ini tetapi di lain sisi banyak pihak yang menikmatinya. Mereka menikmati kematian manusia-manusia  di hadapan mata mereka, mereka menikmati pembunuhan  orang dengan seenaknya, mereka menikmati penembakan orang dengan seenaknya di hadapan mata mereka. Pembunuhan, penembakan dan konflik berdarah seolah-olah sudah menjadi candu di atas tanah ini.  Semua itu dilakukan agar tujuan mereka tercapai. Cara-cara mulia dan bermartabat sudah tidak lagi digunakan, baik penguasa maupun siapa saja yang berkepentingan tidak lagi menjadikan jalan damai sebagai cara untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kepentingannya masing-masing mereka meninggalkan kemanusiaan dan mengedepankan “kerakusan tujuan”mereka. Dan dengan egois mereka selalu berteriak "enak saja bilang pengampunan, maaf apalagi rekonsiliasi, apa lagi duduk bicara-bicara" semua sama saja menjadi munafik dan tidak jujur. Ada batu besar yang menghambat semua proses ini terjadi yakni "egoisme". Egoisme "gigi ganti gigi, mata ganti mata"; egoisme balas dendam; egoisme pertumpahan darah, egoisme patriotisme berbungkus eksploitasi sumber daya alam dan egoisme keberpihakan berbungkus nasionalisme, dan egoisme lainnya. Mari kita bermenung ? kita termasuk kelompok yang mana? Apkah yang semakin membuat kemanusiaan seharga binatang tak berakal budi?  

Satu Optimisme: Manusia Pasti berubah 

Semua yang memiliki akal budi dan hati nurani pantas didefenisikan sebagai manusia. Oleh karena dua unsur utama ini maka, manusia disebut sebagai mahkluk yang memiliki martabat yang luhur. Manusia memiliki hak untuk hidup. Manusia memiliki hak untuk dihargai dan dihormati sebagai mana ia adalah yang paling luhur dari segala ciptaan. Semua orang yang mendiami bumi ini pasti sepakat dengan beberapa pernyataan ini. Lantas jika sudah sepakat apa yang harus dilakukan? teruskah membiarkan kekerasan, kejahatan, ketidakadilan, dan peperangan terus terjadi di muka bumi ini? semua yang mengerti dari sudut pandang kemanusiaan pastilah tidak akan membiarkan kemanusiaan terus tergerus hanya karena "egoisme".  

Manusia harus bisa mengalah demi kemanusiaan di antara mereka, demi keharmonisan di antara mereka. Manusia harus bisa mengakui dan menghargai cara pandang manusia lain yang memiliki budaya-budaya tertentu. Manusia harus bisa membiarkan dan melepaskan sesuatu yang bukan miliknya apalagi merampasnya dari manusia yang lain. Manusia jangan menjadi rakus untuk menguasai orang lain, membuat orang lain menderita hanya supaya tujuannya tercapai; Hanya supaya kepuasaan batin, diri, dan derajatnya tercapai. Dalam kesatuan sebagai manusia hargailah persatuan manusia yang termanifestasi dalam keperbedaan. Keharmonisan itu tercipta karena saling menghargai keperbedaan dalam hal apa saja. Gunakanlah akal dan hati nurani untuk melihat “aku yang lain” yang adalah manusia. Inilah satu keyakinan yang membuat manusia pasti bisa berubah menjadi lebih baik lagi. 

Semua kita sekali lagi sepkat bahwa Manusia adalah mahkluk yang berakal budi dan memiliki hati nurani oleh sebab itu tindakan manusia diharapkan selalu berasal dari pikiran dan hati yang suci yang menggerakan manusia untuk memprioritaskan kebaikkan dan kebenaran. Oleh sebabnya apapun tindakan manusia yang menghancurkan kebaikan dan kebenaran pasti bukan berasal dari pikiran dan akal budi serta hati nurani yang baik, suci dan benar. Situasi Papua dengan intensitas konflik yang terus meninggi adalah salah satu gejala yang memperlihatkan manusia yang "egois", manusia yang tidak bertindak dengan akal budi dan hati nurani yang baik. Manusia-manusia “rakus”yang mengedepankan kepentingan dari pada kemanusiaan. Dengan demikian maka konflik akan terus berkelanjutan dan tidak pernah akan terselesaikan secara baik dan benar. 

"Satu Keyakinan manusia pasti berubah menjadi lebih baik" sudah seharusnya tertanam dalam kehidupan kita semua yang mendiami bumi ini termasuk semua juga yang mendiami "mama" bumi Papua. lihatlah Papua dengan kaca mata kemanusiaan, maka kita akan melihat banyak manusia dengan beribu latarbelakang, suku, ras dan bangsa; banyak budaya dan segala kekayaan dari bumi ini. Oleh sebab itu semua  manusia yang tinggal di Papua harus dihargai dan dihormati, dan dijunjung tingi apalagi manusia “asli” yang baginya Papua adalah rumahnya sendiri maka dia berhak  atas tanah dan manusianya sendiri. lihatlah “mama” bumi Papua dengan kaca mata kemanusiaan maka alam dan segala isinya yang indah tidak akan pernah diekploitasi, dirusak dan dibumihanguskan demi kepentingan "perut" semata. lihatlah "land of Paradise" ini dengan kaca mata kemanusiaan bahwa semua yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang mau menikmati surga yang sesunguhnya yang tidak memiliki kepentingan di atas kepentingan, yang mau hidup harmonis berdampingan satu sama lain dengan tetap menjunjung tinggi pemilik hak ulayat yang punya "rumah". Jika semua ini bisa dilakukan maka kedamaian tidak akan menjadi slogan dan utopia semata. Kedamaian tidak hanya menjadi angan-angan dan berada di awan-awan. Papua akan sungguh menjadi tanah Papua yang damai. Sebagai manusia milikilah keyakinan itu dan hidupilah di atas negeri ini. 

Epilog

Hal yang menjadi urgensi saat ini di tanah Papua adalah sudut pandang atau “kaca mata” kemanusiaan. Apakah semua manusia mau menggunakannya? haruslah hal ini menjadi satu kewajiban bahwa kaca mata kemanusiaan digunakan oleh semua kita yang mendiami bumi ini. Kaca mata kemanusiaan dibutuhkan untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kerakusan dan menghindari konflik. Jika saya yakin bahwa manusia itu bisa berubah menjadi lebih baik maka gunakanlah kaca mata kemanusiaan untuk melihat segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu. Dahulukanlah manusia di atas segala kepentingan apapun di muka bumi ini.  tanamkanlah ini selalu "Manusia adalah mahkluk hidup yang bisa berubah menjadi lebih baik". Mari kita belajar untuk terus menyadarkan sesama manusia bahwa hidup di dunia ini tidak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah jejak kemanusiaan yang ditinggalkan oleh kita semua. Semoga kelak ketika kehidupan di bumi ini punah maka yang tersisa hanyalah  kemanusiaan dan semoga itu kemanusiaan yang baik dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun