Prolog
Setiap tanggal 08 Desember ketika mengingat peristiwa Paniai berdarah tahun 2014 lalu, Â ada trauma panjang yang sangat menyayat hati setiap kita. Bagaimana tidak 4 pelajar tewas tertembak aparat akibat prostes yang dilakukan warga atas pemukulan beberapa orang oleh oknum anggota TNI. Peristiwa ini memicu gelombang protes yang besar. Tak luput dari itu juga terlibat banyak pelajar di sana. Peristiwa ini memakan korban ketika TNI mengeluarkan tembakan yang mengarah kepada warga akibatnya 4 pelajar tewas tertembak. Alih-alih melindungi diri malah mereka membunuh warga yang harus mereka lindungi. Miris memang ketika mengingat kejadian ini dan melihat seluruh proses kejadian ini. 4 pelajar ini kemudian di kubur di lapangan Karel Gobai. Papua berduka saat itu. Sampai saat ini pun masih berduka karena proses penyelesaian kasusnya yang tidak memberikan rasa adil dan kepuasan kepada keluarga korban dan masyarakat. Berita terakhir yang kemudian terdengar kemarin malah satu terdakwa divonis bebas. Apakah ini keadilan yang diharapkan masyarakat yang diberikan oleh institusi negara yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung rakyat? lucunya hukum di negeri ini bak dongeng anak-anak yang mudah disulap oleh Penceritanya.Â
"Luka yang Bernanah"
Kasus Paniai berdarah ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi "luka yang bernanah" di tubuh negara ini. Jika dilihat dan diamati serta disadari bersama bahwa sudah sejak integrasi 1963 itu banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri terutama rakyat Papua. Konflik ini diakibatkan oleh kepentingan politik bangsa ini. politik menjadi unsur utama penyebab banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.Â
Luka bernanah ini tak pernah kunjung pulih dan sembuh karena institusi negara yang mungkin melihat harga nyawa manusia Papua hanya berbayar bedil. Cukup satu magasen dan satu selongsong peluru menembus jiwa maka selesailah perkara negara. pendekatan keamanan yang represif dan tak pernah peduli akan kemanusiaan menjadikan ini nanah berbusuk yang terus tumbuh di tanah Papua. miris sekali negara ini dan penangangannya terhadap HAM. Itu baru dari pihak warga belum lagi dari pihak TNI yang terus menerus dijadikan tameng untuk kepentingan segelintir orang akan kekayaan sumber daya alam tanah Papua. TNI yang diutus itu juga harus kehilangan nyawa karena abdi negara. Alih-alih bela negara ternyata membela kepentingan oknum pejabat. Mereka dijadikan tumbal atas kepentingan segelintir oknum yang rakus. Akibatnya konflik terus berlanjut dan tidak pernah berhenti.Â
Penyelesaian kasus Paniai berdarah meninggalkan luka bernanah yang menyakitkan warga Papua. Betapa mirisnya mereka ketika mendengar terdakwa  kasus Paniai divonis bebas. Di lain sisi hal ini hanya dijadikan formalitas belaka penyelesaian kasus Paniai berdarah. Analisa itu datang dari beberapa LSM seperti koordinator Kontras Fatia Maulida yang mengatakan bahwa proses penyelidikan yang tertutup akan berdampak pada penetapan satu tersangka. Mirisnya lagi bagaimana mungkin hal itu hanya dilakukan oleh satu orang saja? kan menjadi mustahil. Ternyata penyelesaian hukum juga mustahil. Tidak memberikan rasa keadilan bagi korban.Â
Tanggungjawab Negara
Jumlah kasus pelanggaran HAM berat yang banyak mengisahkan pilu ini menjadi tanggungjawab penuh negara. Negara wajib menyelesaikannya, penyelidikan harus dibuat secara independen dan terbuka tanpa intervensi pihak mana pun. Impunitas TNI yang kebal hukum harus ditinjau lagi. Bagaimana mungkin anda memenjara korban dan melindungi pelaku? itu kan yang selama ini terjadi. Jika disinggung terus menerus negara seharusnya malu. tapi mereka yang duduk di birokrat ini serasa muka tebal bak kulit sapi. Pengadilan Kasus Paniai berdarah yang banyak keganjilan menjadi fakta bahwa negara tidak pernah bertanggungjawab terhadap rakyatnya apalagi dengan sejumlah kasus khusus di Papua. Kunjungan presiden Jokowi sampai belasan kali di Papua adalah kamuflase negara yang dijadikan tameng untuk menutup semua kasus bahwa Papua sedang baik-baik saja. Ini memang menyakitkan jika kita terus dibiarkan begini. Setiap kali ganti presiden pasti sama saja penyelesaiannya. Pendekatan militer dan represif adalah jurus jitu. Dengan demikian keadilan negara bagi rakyat Papua adalah sebuah utopis yakni hanya ada dalam khayalan tapi tak ada dalam kenyataan.Â
Epilog
Kasus Paniai berdarah mengingatkan kita untuk sadar bahwa kemanusiaan adalah hukum utama di muka bumi ini. Kedamaian hanya akan tercipta jika keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya. Sulitnya kepentingan yang merebak seperti parasit di atas tanah Papua menjadikan Papua ini penuh darah. Sampai kapan konflik ini terus berlanjut? Mari berkaca pada kasus Paniai berdarah. Jika penyelesaiannya model seperti saat ini yang banyak melindungi pelaku dari pada korban maka mustahil damai dan keadilan tercipta di tanah Papua. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H