menulis yang terjeda oleh rutinitas hidup yang meluputkan hati untuk merangkum kisah dalam goresan pena. Begitu banyak kisah yang bisa dituliskan untuk berbagi rasa,ide dan multi manfaat. Terlewatkan begitu saja. Hanya diam dalam larutnya waktu. Ini sudah sekian kali dalam kerterjedaan menorehkan pena. Hanya sesekali memusatkan diri pada beberapa tulisan, artikel serta beberapa buku yang di baca.Â
Sekian lama takKerinduan untuk kembali menulis, membawaku kembali ke hadapan screen laptop dan seakan mengajak jari-jemari ini untuk meniti satu demi satu huruf pada tuts. Sambil membangun kembali  cakrawala pikir untuk bagaimana membersamai peristiwa yang seharusnya diresapkan ke dalam nalar kemudian diolah untuk menjadi penyampai isi hati. Tentang kebiadaban kaum penjajah zionis yang tiada henti bertindak melebihi binatang tanpa belas kasih. Sesekali kembali menatap satu persatu kata yang telah dituliskan hingga pada bait terakhir.
Pada beberapa peristiwa yang melanda negeri dan belahan bumi yang lain, ada yang nampak sama. Seperti bencana ekologis berupa banjir, longsor, gunung meletus yang terjadi serta peristiwa dinamika politik sebagai penghias hari. Memang tak semua harus dituliskan namun dibutuhkan kepekaan hati untuk memahaminya. Salah satunya dengan menulis  sebagai
 bentuk empati atas peristiwa tersebut.
Napas panjang terhela. Hmmm. hmm. Hmm. ternyata ketika tak menulis hati ini menjadi tak terlatih membuka jendela dunia, melatih kosakata, mengasah kepekaan jiwa serta berbagi pengalaman hidup. Selanjutnya mencoba untuk memahami diri bahwa menulis merupakan bagian terpenting dalam hidup selain makan, minum. Menulis adalah kebutuhan psikologis yang tak terbantahkan. Tulisan ini juga, awal dalam menulis setelah sekian lama tak menulis. sama persis setahun lalu, menulis puisi "ketika tak menulis".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H