Ketika Arif menikahi Lestari, ia tahu bahwa pernikahan bukan sekadar menyatukan dua hati, tetapi juga dua keluarga, dua budaya, dua dunia. Tapi ia tidak pernah menyangka bahwa yang paling sulit bukanlah menjalin hubungan dengan istrinya, melainkan menghadapi mertuanya, terutama yaitu Pak Darmo.
Pak Darmo adalah sosok lelaki tua yang terhormat di desanya, dikenal sebagai sesepuh dan penjaga tradisi. Dia disegani, bukan karena kekuasaan, tetapi karena wibawa dan pendiriannya yang teguh pada nilai-nilai lama. Baginya, apa yang diwariskan leluhur adalah kebenaran mutlak yang tak boleh diganggu gugat.
Masalahnya, Arif berasal dari keluarga modern perkotaan. Ia dibesarkan dalam lingkungan liberal, terbuka pada berbagai gaya hidup dan kepercayaan. Ia makan apa pun yang halal dan enak, tidak mempermasalahkan rempah atau jenis ikan.
Ia mencium anaknya untuk menunjukkan kasih sayang, bahkan di depan umum. Tapi semua itu tampaknya jadi masalah besar bagi Pak Darmo.
Masih teringat jelas bagaimana pertama kali ia ditegur keras hanya karena menggendong anaknya, Dimas, sambil menciumnya di depan keluarga besar saat Lebaran.
"Nak Arif," suara Pak Darmo berat dan dalam. "Kita ini orang Timur. Lelaki tidak seharusnya memperlihatkan kasih sayang berlebihan di depan umum. Ciuman itu bisa melemahkan jiwa anak laki-laki. Kau ingin dia jadi manja dan lembek?"
Arif tercekat. Itu bukan sekadar komentar. Itu pernyataan mutlak dari seorang yang tidak bisa dibantah.
***
Masalah tidak berhenti di situ. Ketika suatu kali, Ibu Arif, Nurmala, memasak gulai ikan patin dengan sedikit kunyit untuk acara keluarga, Pak Darmo langsung keluar dari ruang makan.
"Kunyit bisa membawa sial untuk pernikahan muda!" serunya, wajah merah padam. "Dan ikan patin itu lemah! Lembek seperti dagingnya, tidak cocok untuk darah pejuang!"