Ketika kita miskin, mereka yang kaya cenderung merasa superior. Bagi mereka, kita mungkin hanya beban tambahan. Di tengah keadaan ini, ungkapan bahwa uang tidak bersaudara menjadi semakin terasa nyata.
Dusta Para Penguasa
Di dunia luar, tidak hanya keluarga yang menawarkan janji kosong. Kita sering mendengar para calon legislatif dan kepala daerah berjanji dengan penuh keyakinan untuk membantu rakyat kecil.
Mereka berdiri di atas panggung, tersenyum penuh percaya diri, sambil mengatakan bahwa mereka akan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Kata-kata mereka terasa seperti secercah harapan, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tapi sekali lagi, kenyataan sering kali bertolak belakang.
Setelah mereka terpilih dan berhasil duduk di kursi kekuasaan, harapan itu berubah menjadi kecewa. Pesan-pesan yang kita kirim tidak direspons, bahkan mungkin dihapus sebelum sempat dibaca.
Ada yang dengan sengaja mengatur penghapus otomatis pada aplikasi pesan mereka, agar tidak perlu repot-repot membaca permohonan kita. Ini bukan sekadar pengabaian, tetapi cerminan dari sistem yang tidak peduli pada mereka yang membutuhkan.
Para pemimpin ini mungkin merasa tidak bertanggung jawab kepada rakyat, kecuali saat pemilihan berikutnya mendekat. Pada saat itulah mereka kembali dengan janji-janji manis yang sama, berharap bahwa kita melupakan kekecewaan sebelumnya. Tapi, apakah kita benar-benar bisa melupakan?
Mengapa Kemiskinan Dipandang Sebelah Mata
Hidup dalam kemiskinan adalah perjuangan yang melelahkan, tidak hanya karena kekurangan materi, tetapi juga karena kurangnya empati dari orang lain. Dalam masyarakat, orang miskin sering dianggap tidak berharga.
Ketika kita miskin, banyak orang yang menganggap kita tidak memiliki hak untuk bermimpi atau berbicara tentang kebutuhan.
Ironisnya, mereka yang kaya sering kali lupa bahwa kemiskinan bukanlah pilihan. Tidak ada orang yang ingin hidup dalam kekurangan. Namun, stigma yang melekat pada kemiskinan membuat orang miskin sering kali diperlakukan dengan tidak adil.