Langit di atas kota pagi itu tampak mendung, seolah ikut merasakan kekalutan yang menyelimuti hati Regulus. Di tengah hiruk-pikuk kota, pria paruh baya itu duduk termenung di depan rumahnya yang sederhana. Ada seberkas pesan yang baru saja diterimanya di ponsel. "Pak, tolong bantu bayarkan angsuran KUR bulan ini. Di sini nggak ada bank, sinyal saja sulit didapat. Kalau tidak bayar sekarang, denda pasti datang." Pesan itu datang dari anaknya yang tinggal jauh di pedalaman, di kampung yang terpencil. Anak sulungnya yang sudah menikah itu tinggal di desa yang sangat terpencil bersama istrinya dan kedua mertuanya, dan hanya dapat sinyal setelah menunggu matahari cukup terik untuk mengisi daya ponselnya lewat panel surya sederhana. Tidak ada bank, tidak ada ATM, bahkan minimarket pun tak ada di sana.Â
Hanya Regulus, sang ayah yang berjarak sekitar 400 kilometer air, yang bisa membantu. Disebutkan kilometer air, karena akses ke tempat mereka hanya bisa melalui air. Dengan napas berat, Regulus menatap layar ponselnya lagi, memeriksa jumlah uang yang dikirim anaknya melalui akun media sosial. Namun masalahnya, aplikasi online yang mereka gunakan tidak mendukung bank tempat anaknya mengambil KUR. Jadi, untuk bisa membayarkan angsuran itu, Regulus harus mencairkan uang tersebut dulu dan membawanya secara tunai ke bank. Ia melangkah keluar rumah dan menatap jalan setapak yang harus ia tempuh sejauh satu setengah kilometer untuk mencapai minimarket terdekat. Jalan itu berbatu, menanjak, dan tidak mudah dilalui, terutama bagi pria seusianya.
 Namun demi anaknya, ia rela mengarungi kesulitan ini. Langkah Regulus mulai terasa berat saat tiba di minimarket pertama. Keringat mengucur deras dari dahinya, meski udara di kota masih terasa sejuk pagi itu. Sesampainya di sana, dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia punya, ia segera mendekati kasir dan menjelaskan maksudnya. Petugas minimarket itu memeriksa sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Maaf, Pak, tapi di sini tidak bisa mencairkan uang dari akun aplikasi ini. Bapak coba ke minimarket merk lain saja, jaraknya sekitar 500 meter dari sini," katanya dengan nada sopan. Regulus terdiam sesaat, mencoba mencerna kabar buruk yang baru ia dengar. Harapannya yang sudah tipis seakan hancur. Tapi ia tahu, tak ada pilihan lain. Ia harus tetap melangkah, meskipun kakinya mulai terasa lemas. Betisnya terasa sakit dan tegang, karena asam urat yang di deritanya dan tidak pernah sembuh secara tuntas.Â
Di sepanjang perjalanan menuju minimarket kedua, Regulus merasakan beban di pundaknya semakin berat. Dia teringat wajah anak sulungnya, bayangan cucunya yang masih kecil, dan rasa takut akan denda yang membayangi jika angsuran ini terlambat. Setibanya di minimarket kedua, Regulus segera bertanya dengan harapan tersisa. Namun, jawaban dari petugas minimarket itu membuat dadanya semakin sesak. "Uangnya belum ada, Pak. Di sini kami baru bisa mencairkan kalau ada orang top-up lebih dulu. Mungkin nanti sore setelah jam lima, baru ada." Regulus hanya bisa mengangguk, menahan rasa kecewa yang semakin dalam. Ia tidak punya pilihan lain selain menunggu. Dengan langkah gontai, ia berjalan keluar minimarket dan mencari tempat untuk duduk sambil menunggu waktu berlalu. Sambil duduk di kursi kayu di sudut jalan, ia menundukkan kepala dan berdoa dalam hati, berharap semuanya bisa selesai hari itu juga.Â
Jam lima sore, Regulus kembali datang lagi ke minimarket dengan harapan penuh. Namun, ketika petugas memberitahukan bahwa ia hanya bisa mencairkan 250 ribu rupiah saja, hati Regulus kembali dilanda kekhawatiran. Jumlah itu tidak cukup untuk membayar angsuran sepenuhnya. Ia menatap uang yang berhasil dicairkan dengan tangan gemetar, merasakan keputusasaan yang semakin mendalam. "Pak, mohon maaf, ini limit pencairannya. Kalau besok pagi datang lagi, mungkin uangnya bisa lebih lengkap," kata petugas itu dengan nada menyesal. Regulus hanya mengangguk pelan, mencoba mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Malam itu, ia pulang dengan tubuh yang terasa semakin berat. Di rumahnya, ia duduk termangu, menatap gelapnya langit malam di luar jendela. Suara jangkrik terdengar nyaring, seolah-olah mengingatkannya akan kesendirian yang kini ia rasakan.Â
Dia ingat betul perjuangan yang telah ia lalui hari ini, dan betapa tidak mudahnya mengorbankan waktu dan tenaganya demi anak-anak yang kini tinggal berjauhan. Esok paginya, Regulus berangkat lagi. Kali ini, ia sengaja datang di sore hari, berharap uang dari top-up pengunjung lain sudah cukup terkumpul untuk mencairkan sisa yang ia butuhkan. Setiap langkah terasa lebih berat daripada kemarin, tetapi Regulus tidak menyerah. Ketika ia tiba di minimarket, kabar baik akhirnya ia dengar. Sisa uang sudah bisa dicairkan, dan ia dapat segera menuju bank untuk membayar angsuran KUR anaknya. Setelah menarik napas panjang, ia berjalan menuju bank dengan hati lega meski tubuhnya lelah luar biasa. Rasa sakit di kakinya terasa tidak berarti dibandingkan dengan kelegaan di hatinya karena berhasil menyelesaikan kewajibannya. Hari itu, Regulus pulang dengan senyum tipis di wajahnya. Di sepanjang jalan, ia membayangkan wajah anaknya yang kini bisa bernafas lega, terbebas dari denda dan beban pikiran. Sesampainya di rumah, Regulus duduk di kursi kecilnya, menatap ke langit yang berangsur gelap.Â
Perjuangan dua hari ini telah menguras tenaganya, tetapi ia tidak menyesal. Sebagai seorang ayah, kebahagiaan anak-anak adalah prioritas utamanya, bahkan jika itu berarti harus berjalan kaki belasan kilometer, melewati rasa lelah yang kadang terasa tak tertahankan. Di tengah kesunyian malam, Regulus memandang jauh ke depan, membayangkan anak-anaknya yang tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Tidak terasa, ia meneteskan air mata, merasa hampa sekaligus lega. Rasa bangga menyelinap di balik lelahnya, karena ia tahu, sebagai seorang ayah, ia telah melakukan yang terbaik demi keluarga tercintanya. Sepeda motornya yang semata satu-satunya dipakai oleh anak keduanya yang tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu universitas negeri di provinsi yang berbeda. Anaknya yang masih kuliah membutuhkan sepeda motor itu untuk menempuh jarak jauh dari satu desa ke desa lainnya, melakukan kegiatan pengabdian masyarakat yang diwajibkan kampus. Meski berat, Regulus tidak bisa melarang.Â
Dua hari ini ia tak punya pilihan selain berjalan kaki. Setiap langkah menuju minimarket terasa semakin berat, terutama di usianya yang tak lagi muda. Perjalanan sejauh satu setengah kilometer atau tiga kilometer bolak-balik itu harus ia tempuh di bawah terik matahari yang menyengat, tanpa pelindung dari hujan atau panas. Namun, demi anaknya yang pertama, ia melanjutkan langkahnya. Meski usia Regulus sudah tidak muda lagi, tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Kebiasaan berjalan kaki setiap hari, berkeliling kota untuk urusan-urusan sederhana atau sekadar mengambil keperluan rumah, membuat tubuhnya tetap bugar. Wajahnya mungkin dihiasi kerutan dan rambutnya sudah banyak memutih, tapi semangatnya masih sekuat dulu. Setiap kali berjalan jauh, ia selalu merasakan napasnya tetap teratur, langkahnya masih mantap menapaki jalan berbatu yang cukup terjal.Â
Begitulah keseharian Regulus; hidup sederhana dan banyak bergerak, membuatnya tetap sehat meski usianya sudah melewati masa-masa produktif. Kebugaran fisik ini pula yang memberinya kepercayaan diri untuk menempuh perjalanan sejauh belasan kilometer demi membantu anak sulungnya membayar angsuran KUR. Bahkan hari itu, ketika ia harus bolak-balik ke beberapa minimarket dengan hasil yang tak selalu sesuai harapan, Regulus tetap bisa menyelesaikan setiap langkah dengan ketabahan. Ia tahu bahwa berjalan kaki bukanlah masalah, namun lebih pada ketahanan hatinya menghadapi berbagai cobaan dan rintangan di depan mata. Kebugarannya yang luar biasa ini tak hanya memberinya kekuatan fisik tetapi juga keteguhan batin.Â
Regulus sadar bahwa ia telah melakukan semua yang terbaik yang bisa ia berikan untuk anak-anaknya, termasuk melalui perjalanan yang panjang ini, dengan langkah-langkah yang penuh keteguhan. Ketika semua proses akhirnya selesai dan ia kembali pulang, Regulus berjalan dengan perasaan ringan. Setiap langkah terasa sebagai bentuk syukur dan cinta, meskipun tubuhnya letih. Malam itu, setelah menempuh perjalanan panjang selama dua hari, Regulus duduk di kursi rumahnya yang sederhana, menatap langit dan merasakan kedamaian dalam hatinya. Dan esok harinya, meskipun tubuhnya sempat kelelahan, ia kembali bangkit dengan tubuh yang sehat dan jiwa yang tak tergoyahkan. Kesehariannya yang penuh aktivitas sederhana di kota, berjalan ke sana-sini, telah memberinya kekuatan yang tak ternilai untuk terus mendukung keluarga kecilnya di mana pun mereka berada. ***Â