Pak Ernis, seorang pemilik tanah seluas dua puluh hektar di kota kecamatan, telah bermimpi untuk mendirikan kebun sawit di lahan subur tersebut. Namun, keterbatasan modal membuat rencananya terpaksa ditunda.
Suatu hari, Pak Ernis mendapatkan tawaran dari Pak Wijaya untuk membeli tanahnya. Meskipun tawarannya menggiurkan, Pak Ernis dengan teguh memutuskan untuk tidak menjualnya. Namun, kejadian tak terduga terjadi; sertifikat tanah itu tiba-tiba atas nama Pak Wijaya. Kejadian ini membuat Pak Ernis tidak terima dan memaksa keduanya terlibat dalam perseteruan hukum yang berujung pada proses pengadilan.
Bagaimana mungkin ada dua sertifikat tanah? Musti satu yang palsu dan satu yang asli. Pak Ernis sih yakin jika miliknya yang asli, karena tanah itu di kuasai sejak dari jaman Bapaknya.
Meskipun sudah berlangsung berapa kali sidang, ternyata sertifikat Pak Wijaya memiliki sejarah lebih tua. Hal ini mengejutkan, mengingat Pak Wijaya adalah penduduk dari kota sebelah yang berjarak 84 kilometer dari tanah tersebut, sementara Pak Ernis telah lama menjadi penduduk setia di lahan itu.
Namun, kekuasaan jabatan dan uang yang berbicara dalam kasus ini. Pak Ernis akhirnya terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa tanah seluas dua puluh hektar itu hilang begitu saja. Rasa bingung dan kehilangan mewarnai harinya, bagaimana tanah yang diwariskan dari orang tuanya bisa raib dengan begitu mudahnya?
Di tempat lain, Pak Wijaya hanya tertawa-tawa senang dengan kemenangannya. Ia menawar tanah itu dengan Pak Ernis sekitar dua puluh milyar, sementara biaya yang dia keluarkan untuk memanipulasi sertifikat, membayar hakim, jaksa, serta oknum Pertanahan dan Notaris hanya sekitar sepuluh milyar. Kini, dia telah memperoleh untung besar, tidak hanya dari uang yang diinvestasikan, tetapi juga dari lahan yang berhasil diolah.
Kisah tentang tanah sengketa ini adalah cerminan pahit tentang kekuatan uang dan keadilan yang terkadang tersandera oleh jabatan dan kepentingan pribadi. Tanah yang menjadi saksi bisu dari kisah keluarga Pak Ernis, kini berpindah tangan, meninggalkan pertanyaan yang menggantung dan kehilangan yang mendalam bagi pemilik sejati.
Pak Ernis terduduk lesu, mengenangkan tanahnya yang terlepas. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya uang untuk melawan pak Wijaya. Nasib yang di derita pak Ernis banyak di derita oleh Masyarakat Indonesia yang tidak punya uang dan tidak ada kawannya yang pejabat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H