Mohon tunggu...
ADRIANUS S.
ADRIANUS S. Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Mengolah mental menuju profesional

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dalam Kurikulum 2013

26 September 2014   20:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:24 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kurikulum 2013 digulirkan oleh pemerintah (baca kemendiknas) sebagai reaksi  terhadap kesimpulan  beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat bahwa kemorosatan moral telah terjadi dikalangan generasi  muda di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Kesimpulan didasarkan pada beberapa peristiwa kelam yang dilakukan beberapa pelajar dan pemuda. Mulai dari perkelahian pelajar hingga aksi tawuran massal yang marak terjadi di sebagian besar kota di Indonesia. Bahkan kota yang mendapat sebutan kota pendidikan pun tidak luput dari peristiwa serupa. Tindakan pelecehan seksual yang dilakukan para pemuda dan pelajar di tempat-tempat umum maupun di sekolah yang sempat mencuat di media masa beberapa waktu lalu menjadi presenden absurdnya moral bangsa ini. Bahkan sekolah (JIS) yang  notabene sebagai sekolah elite dengan sistem keamanan yang canggih, gedung sekolah yang megah dengan fasilitas yang mewah, para pengajar yang pilihan, dan karyawan yang lengkap ikut memperkuat kesimpulan tersebut. Penyebabnya adalah implementasi kurikulum yang sebelumnya (KTSP) terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang kelas dengan kegiatan yang kurang menantang serta membosankan. Benarkah kesimpulan ini?

Terlepas benar tidaknya kesimpulan tersebut, yang jelas sebagai warga negara Indonesia kita ikut andil dalam kodisi bangsa ini. Entah sebagai anggota pemerintah penentu kebijakan pengelolaan bangsa ini maupun sebagai pemuka agama yang berperan dalam membangun moralitas umatnya. Atau Sebagai orang yang ikut berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun  sebagai  orang tua yang memiliki tanggung jawab terhadap karakter anak. Bahkan sebagai warga  masyarakat  pun  ikut bertanggung jawab menciptakan lingkungan  dalam mengawasi dan mengingatkan generasi ini bukan malah membiarkan.

Kurikulum 2013

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah pendekatan tematik. Artinya proses pembelajaran di kelas dikemas dalam bentuk tema tertentu yang didalamnya mengandung beberapa mutan pelajaran. Contoh dalam Buku Guru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.-- Edisi Revisi, Jakarta: 2014,  untuk kelas I, tema kedua,  adalah Kegemaranku. Pada pembelajaran pertama pada tema tersebut memuat lima mata pelajaran. Dalam kurikulum 2013 istilah mata pelajaran diganti dengan istilah muatan pelajaran (mupel). Mupel dalam pertemuan pertama tema tersebut adalah PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan Prakarya (SBdP).

Alur pembelajaran pada buku tersebut sebagai berikut: Pembelajaran dibuka dengan mengamati gambar beberapa cabang olahraga. Sambil mengamati siswa diajak dialog untuk masuk ke muatan pelajaran yang dimungkinkan. Guru menanyakan olahraga apa saja yang ada dalam gambar tersebut? Anak lalu menyebutkan jenis-jenis olahraga yang ada di dalam gambar. Ini menjadi materi pelajaran teori olahraga.  Untuk masuk ke dalam mupel matematika anak ditanya, ada berapa jenis cabang olahraga yang ada dalam gambar dan ada berapa jenis olahraga yang termasuk olahraga tim? Dalam hal ini anak diajak untuk melatih ketrampilan mengitung. Sikap apa saja yang harus dimiliki setiap pemain olahraga tim? Ini masuk dalam muatan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Untuk masuk ke dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya baca-tulis, siswa diajak untuk membaca nyaring  dan menebalkan huruf-huruf mengenai nama-nama cabang olahraga yang ada dalam gambar dan sekaligus  untuk mengenalkan kosa kata bidang olahraga. Langkah pembelajaran berikutnya adalah anak diberi kesempatan memilih gambar yang disukai untuk dijadikan tema menggambar dan mewarnai (mupel SBdP).

Pada saat siswa menggambar atau mewarnai, guru berkesempatan berkeliling untuk memberikan penilaian sikap sosial sesuai dengan aktivitas yang dilakukan. Pada pelajaran tersebut sikap yang dinilai adalah sikap percaya diri, tertib, dan santun. Dalam penilaian sikap, rentang nilai yang digunakan adalah 1 sampai 4.   Kriteria yang ditetapkan dalam penilaian tersebut yaitu siswa mendapat skor 1 jika sikap  yang dimaksud dalam diri anak belum tampak, skor 2 jika sikap tersebut mulai tampak, skor 3 jika  mulai berkembang dan skor 4 jika sikap tersebut sudah membudaya pada diri siswa. Hal itu dilaksanakan guru dalam setiap pembelajaran pada  tema dan sub tema  yang lain dengan sikap sosial yang berbeda pula. Sikap sosial yang dituntut dalam kompetensi isi (KI) untuk sikap sosial adalah perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri.Penilaian tersebut dilakukan setiap satu minggu sekali setelah satu Kompetensi Dasar selesai.Hal ini wajib dilaksanakan guru secara terus menerus. Itulah salah satu gambaran proses pembelajaran  dan penilaian sikap sosial yang menggunakan kurikulum 2013. Untuk Kompetensi Inti yang pertama (KI 1) tentang sikap keagamaan yaitu menerima dan menjalankan agama sesuai agama dan kepercayaannya diperdalam pada pembelajaran agama yang diajarkan oleh guru agamanya.

Subjek Pembinaan

Penulis sebagai pendidik yang terlibat langsung menerapkan kurikulum tersebut berpendapat, pembinaan mental yang ada dalam model pembelajaran tersebut seolah-olah guru hanya menilai sikap tanpa memberi masukan mengenai sikap percaya diri, tertib, dan sopan itu yang bagaimana dan seperti apa contohnya. Hal ini terutama pada pengembangan sikap sosial yang terintegrasi dalam setiap muatan pelajaran. Anak-anak hanya menjadi objek penilaian, bukan menjadi subjek pembinaan mental. Anak tidak mendapat kesempatan untuk merefleksi diri mengenai sikap hidupnya selama ini karena guru dituntut untuk menyelesaikan pembelajaran yang dituntut dalam buku babon kurikulum 2013. Guru harus berlari mengejar ketertinggalan pembelajaran karena datangnya buku sudah beberapa bulan pembelajaran berlangsung. Guru tidak sempat untuk memberi tekanan dan refleksi dalam pembelajaran. Pada hal refleksi pembelajaran sejatinya adalah inti dari pembinaan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang dituntut dalam kompetensi sosial. Namun,pada praktik pembelajaran pada umumnya adalah proses pembelajaran tidak lebih dari sekedar mengetahui baik dan buruk. Jangan-jangan  anak bersikap percaya diri, tertib, dan sopan atau nilai sosial yang lain karena dinilai, bukan karena pengolahan pribadi dan internalisasi diri. Ini sama halnya dengan mendidik anak-anak bangsa ini menjadi manusia bunglon dan tidak memiliki jati diri yang sebenarnya. Pendidikan membentuk hidup anak didik penuh dengan kepura-puraan. Pada akhirnya kegagalan pendidikan untuk membangun karakter bangsa ini kembali terbayang dibenak kita. Jika guru tidak mampu melihat hal ini dan tidak kreatif menemukan jalan alternatif untuk menyikapi hal ini, pada akhirnya bangsa ini akan menjadi bangsa yang semu dan abu-abu karena tidak jelas karakter pribadinya.

Ketulusan sejati seorang pendidik

Anak usia SD merupakan usia emas untuk menanamkan nilai-nilai moral. Dalam Injil Mark.10:14 Tuhan mengatakan” Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah. Ini mengisyaratkan bahwa anak-anak bangsa ini memiliki hak yang hakiki untuk mendapatkan pendidikan nilai-nilai moral agar mereka nantinya benar-benar mengalami “kerajaan Allah”. Yakni sebuah situasi kehidupan yang menentramkan dan penuh kedamaian. Anak-anak ini sungguh merasakan Firdaus di dunia, bukan sebaliknya yang terjadi saat ini. Ini menuntut kehadiran sosok  pribadi pendidik tulus. Tulus menjadi teladan bagi anak-anak bangsa ini. Ketulusan tercermin dalam keberanian untuk kreatif mengatasi keterbatasan buku babon pembelajaran kurikulum 2013 di kelas. Guru harus berani untuk keluar dari sekedar kewajiban implementasi kurikulum baru yang sedang booming ini. Guru harus berani untuk menyediakan waktu untuk memberi kesempatan anak-anak bangsa ini melakukan refleksi untuk mengendapkan pikiran dan menemukan pribadi yang sejati.

Guru merupakan orang tua kedua bagi anak-anak bangsa ini. Selayaknya sebagai seorang orang tua, hati dan pikiran yang tulus seorang pendidik harus menyatu dalam diri peserta didiknya. Ini mengisyaratkan bahwa seorang pendidik memiliki peran yang tulus dalam mendoakan mereka agar memiliki karakter yang baik. Pendidik harus mampu membangun sinergi spiritual dan fisikal dalam pembelajaran. Bahkan seorang guru selayaknya  merelakan bermati raga (puasa) sebagai upaya membangun mental mereka. Sebab doa dan puasa merupakan kekuatan supranatural yang tidak terkalahkan.

Seorang pendidik juga dituntut ketulusan dalam mencapai prestasi anak didiknya. Prestasi yang tulus adalah prestasi yang diraih dengan kejujuran. Walaupun banyak sekolah diindikasikan banyak melakukan kecurangan dalam mencapai prestasi (UN). Seorang guru yang tulus tidak bangga anak didiknya berprestasi dengan cara yang tidak jujur. Guru yang tulus akan berupaya sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Terbaik dalam prestasi yang sejati. Karena sejatinya prestasi bisa dicapai dengan ketulusan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran.

Dengan ketulusan dalam kreativitas, spiritual, dan prestasi pendidikan karakter yang sudah beberapa kali mengalami perubahan bentuk, penulis yakin akan terwujud. Kurikulum sebaik apapun, dengan penyusun sehebat apapun tak akan berarti apa-apa tanpa ketulusan seorang pendidik. Mari, melalui program revolusi mental maupun revolusi budaya yang sedang bergulir saat ini kita dukung dengan revolusi ketulusan kita bersama. Semoga melalui ketulusan kita Tuhan akan memberkati.

Adrianus Sugiarta, S. Pd.

Pendidik di SD Pangudi Luhur Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun