Mohon tunggu...
bakulan opini
bakulan opini Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Melek literasi itu lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akses Pupuk Sulit, Petani Menjerit

29 Juni 2024   18:58 Diperbarui: 29 Juni 2024   19:09 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Guys, kita semua tahu kalau petani itu pejuang pangan kita. Tapi, gimana jadinya kalau pejuang kita ini kesulitan buat dapat pupuk? Bayangin deh, petani di Manggarai, NTT, harus tempuh 80 km cuma buat dapat pupuk subsidi. Itu jarak yang jauh banget, dan nggak semua petani punya akses atau biaya buat perjalanan sejauh itu. Miris, kan?

Masalah ini nggak cuma soal jarak aja. Di banyak wilayah lain, kayak di Kecamatan Soko, harga pupuk subsidi nggak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Petani yang seharusnya bisa beli pupuk dengan harga subsidi malah harus bayar lebih mahal. Ini kayak nambahin beban di pundak mereka yang udah berat.

Kenapa bisa begini? Ternyata masalahnya kompleks. Pertama, ada kapitalisasi pupuk. Artinya, pengadaan dan distribusi pupuk dipegang oleh perusahaan. Negara yang seharusnya jadi pelindung petani malah jadi lepas tangan. Alhasil, petani susah dapat pupuk yang mereka butuhin buat tanamannya.

Nggak cuma itu, negara juga punya utang ke PT Pupuk Indonesia, yang padahal BUMN sendiri. Hutang ini nggak main-main, guys, sampai Rp125 triliun! Gimana negara mau dukung petani kalau mereka sendiri terjerat hutang sebesar itu? Ini jadi lingkaran setan yang bikin akses pupuk makin susah dan makin jauh dari cita-cita kedaulatan pangan.

Kita semua tahu kalau pertanian itu bidang strategis. Nggak cuma soal tanaman, tapi juga soal kehidupan banyak orang. Kalau petani nggak bisa tanam dengan baik karena nggak ada pupuk, kita yang bakal kena imbasnya. Harga pangan bisa naik, ketersediaan pangan bisa menurun. Intinya, semua jadi kacau.

Terus, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, pemerintah harus ambil langkah tegas buat atasi masalah ini. Negara nggak boleh lepas tangan. Harus ada kebijakan yang jelas dan tegas buat pastikan pupuk subsidi sampai ke tangan petani dengan harga yang sesuai HET. Distribusi pupuk juga harus diawasi ketat biar nggak ada yang main curang.

Kedua, perlu ada peningkatan infrastruktur di daerah-daerah yang susah dijangkau. Kayak di Manggarai tadi, masa iya petani harus tempuh 80 km buat dapat pupuk? Ini nggak bisa dibiarkan. Pemerintah harus bangun akses yang lebih mudah, entah itu jalan yang bagus atau fasilitas distribusi yang lebih dekat.

Ketiga, transparansi dalam pengelolaan pupuk. Harus ada laporan yang jelas soal distribusi pupuk ini. Siapa yang dapat, berapa banyak, dan harga yang dibayar. Dengan transparansi, kita bisa tahu kalau ada yang nggak beres dan langsung ambil tindakan.

Nah, kalau kita lihat dari perspektif Islam kaffah, ada beberapa solusi menarik yang bisa diterapkan. Pertama, Islam mengajarkan bahwa negara harus berperan aktif sebagai pelayan rakyat. Dalam hal ini, negara harus memastikan setiap petani dapat akses mudah ke pupuk dan sarana produksi lainnya. Negara nggak boleh cuma duduk diam dan biarkan perusahaan pegang kendali penuh.

Kedua, dalam sistem Islam, bantuan kepada petani nggak cuma soal barang tapi juga modal. Negara akan memberikan bantuan kepada petani, terutama mereka yang kurang mampu, supaya bisa tetap bertani dan sejahtera. Dengan begitu, petani nggak cuma bertahan tapi juga berkembang dan meningkatkan produksi pangan.

Solusi-solusi ini bisa jadi inspirasi buat pemerintah kita. Petani itu ujung tombak kedaulatan pangan, jadi mereka harus didukung sepenuhnya. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita bisa pastikan petani dapat pupuk dengan mudah dan harga yang sesuai. Dan yang paling penting, kita bisa capai kedaulatan pangan yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun