Mohon tunggu...
Mentari Shafa Putri
Mentari Shafa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Memiliki ketertarikan yang tinggi dalam bidang pendidikan sejarah dan pengembangan media digital.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sangiran 17: The Masterpiece of Sangiran

22 Desember 2022   09:39 Diperbarui: 22 Desember 2022   09:47 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Fosil Pithecanthropus VIII atau Sangiran 17. Sumber: www.athenapub.com

Adalah hal yang tiada habisnya jika kita mengkaji perihal peninggalan budaya maupun fosil yang ditemukan di Situs Sangiran. Hal ini dikarenakan Kubah Sangiran sendiri merupakan area dengan fosil peninggalan masa Kuarter terkaya di lingkup Asia Tenggara (Puspaningrum, 2011). 

Yang mana diantara keempat lapisan formasi batuannya yang terdiri dari Formasi Puren (Formasi Kalibeng), Formasi Sangiran (Formasi Pucangan), Formasi Bapang (Formasi Kabuh), dan Formasi Pohjajar (Formasi Notopuro), maka pada Formasi Bapang atau Formasi Kabuh itulah ditemukan berbagai fosil Hominiae, vertebrata dan hasil budaya (artefak). 

Formasi Kabuh terbentuk sejak awal Kala Plestosen Tengah yang berlangsung sejak kurun waktu 730.000-250.000 tahun yang lalu. Pada masa ini Sangiran berbentuk padang sabana yang subur dengan iklim tropis yang lembab, sehingga menjadi tempat hidup yang menyenangkan bagi berbagai organisme termasuk manusia pada kala itu. 

Penemuan fosil-fosil Hominid pada area Kabuh ini menjadi sangat penting bagi perkembangan penelitian sejarah, sebab menjadi salah satu gerbang pembuka tabir yang paling utama dalam penjelasan evolusi manusia, khususnya adalah fosil Homo erectus yang dianggap sebagai "The Missing Link" atau Mata Rantai yang Hilang. 

Dianggap demikian karena penemuan fosil Homo erectus atau Pithecanthropus erectus di Trinil, Ngawi pada 1891 oleh Eugene Dubois ini menjadi 'bukti' atau 'penguat' atas teori Charles Darwin yang menghubungkan perkembangan kehidupan manusia dan juga kera yang dianggap berevolusi dari satu nenek moyang yang sama. 

Mengapa hal ini bisa saling berkait? Sebab fosil tersebut menjembatani evolusi antara pra-human dan human yang tentunya bukti ini didukung oleh struktur tengkorak dari fosil Homo erectus yang merupakan perpaduan atas struktur tengkorak kera dan juga manusia, sehingga dianggap sebagai bukti kuat atas Teori Evolusi Darwin.

Gambar 2. Rekonstruksi Homo erectus. Sumber: https://www.bbc.com/i
Gambar 2. Rekonstruksi Homo erectus. Sumber: https://www.bbc.com/i

Nah, siapakah sebenarnya sosok Homo erectus yang sudah disinggung sejak awal pembahasan ini? Homo erectus merupakan Hominid pertama yang menyebar secara luas keluar wilayah Afrika dan mengembangkan berbagai ras di wilayah persebarannya (Mayr, 2010, hlm. 329). 

Homo erectus dianggap sebagai kerabat dekat dari manusia modern dan merupakan spesies manusia pertama yang diketahui dapat berjalan dengan tegak. 

Spesies ini tidak banyak berubah selama kurang lebih 1 juta tahun dan mereka mengembangkan kebudayaannya sejak penggunaan alat-alat batu sederhana hingga yang lebih modern untuk kebutuhan hidup sehari-hari. 

Secara morfologi, Homo erectus dan Homo sapiens memiliki beberapa perbedaan, dimana proporsi tubuh dari Homo erectus lebih kekar dan besar dibanding dengan Homo sapiens. 

Kemudian secara fisik, Homo sapiens lebih lemah dibanding dengan Homo erectus yang mana hal ini menunjukkan adanya evolusi berdasarkan perbedaan tuntutan bertahan hidup dalam kondisi bumi pada masa itu. 

Dan perbedaan yang paling signifikan adalah terkait kapasitas otak Homo sapiens yang jauh lebih besar yang dibuktikan dengan adanya perbedaan dari hasil kebudayaan hidup diantara kedua spesies tersebut.

Gambar 3. Evolusi Tengkorak Manusia Purba. Sumber: https://sains.kompas.com/
Gambar 3. Evolusi Tengkorak Manusia Purba. Sumber: https://sains.kompas.com/

Berdasarkan pada fosil-fosil yang ditemukan di pulau Jawa, tercatat bahwa Homo erectus memiliki masa kehidupan yang beririsan dengan masa perkembangan manusia modern atau Homo sapiens. 

Hal ini didukung oleh temuan fosil Homo erectus pada tahun 1930 di Dusun Ngandong, Jawa Tengah yang dianalisis memiliki usia antara 27.000 hingga 53.000 tahun silam. 

Temuan lain diperoleh berdasarkan penelitian yang dipimpin oleh Profesor Russell Ciochon dari University of Lowa yang melakukan penggalian baru di samping Sungai Solo dan menyimpulkan usia definitif untuk lapisan tulang di area sana berusia antara 108.000 hingga 117.000 tahun. 

Namun fenomena unik terjadi pada Homo erectus yang hidup di pulau-pulau Asia Tenggara dimana berdasarkan fosil yang ditemukan Homo erectus modern telah mengalami evolusi sehingga proporsi tubuh mereka menjadi kecil, seperti specimen Homo floresiensis atau manusia "Hobbit" yang ada di Flores dan juga Homo luzonensis di Filipina. 

Perubahan ukuran tubuh tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan sumber makanan di lingkungan mereka hidup pada kala itu. Namun untuk daerah pulau Jawa sumber makanan masih tersedia dengan baik sehingga fosil Homo erectus yang ditemukan di area pulau Jawa masih memiliki ukuran tubuh yang normal seperti Homo erectus pada umumnya.

Gambar 4. Rekonstruksi 3 tipe Homo erectus yang mendiami Pulau Jawa. Sumber: https://www.kompasiana.com/
Gambar 4. Rekonstruksi 3 tipe Homo erectus yang mendiami Pulau Jawa. Sumber: https://www.kompasiana.com/
Melalui temuan di Situs Sangiran dapat diperkiran bahwa Homo erectus yang mendiami pulau Jawa terbagi menjadi 3 tipe, yaitu tipe Arkaik, Tipik dan Progresif. 

Homo erectus Arkaik merupakan tipe yang paling tua, ditemukan pada lapisan lempung hitam Formasi Pucangan dan Grenzbank. Tipe Progresif merupakan tipe yang paling maju, sedangkan tipe Tipik merupakan tipe yang lebih maju jika dibandingkan dengan Arkaik, namun tidak semaju tipe Progresif. 

Tipe Tipik merupakan tipe yang paling banyak ditemukan di Indonesia, khsusunya di daerah Sangiran dan Trinil. Salah satu fosil Homo erectus tipe Tipik dengan kondisi paling sempurna pada saat ditemukan adalah fosil Pithecanthropus VIII (kode fosil: P-VIII) atau yang lebih umum disebut dengan Sangiran 17 (kode fosil: S17). 

Penyebutan Sangiran 17 merujuk kepada nomor seri penemuan yang diberikan kepada fosil tengkorak Homo erectus yang ke-17 di Sangiran. Fosil ini ditemukan pada lapisan endapan pasir fluvio vulkanik Formasi Kabuh berusia 800.000-700.000 tahun silam di sebelah selatan Sungai Cemoro di Dukuh Pucung, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. 

Penemunya adalah Towikromo dan Tukimin pada tahun 1969 dan di tahun 1971 fosil ini pertama kali dipublikasikan oleh S. Sartono sebagai P-VIII. Saat ini fosil asli P-VIII disimpan di Museum Geologi - Badan Geologi, Bandung.

Gambar 5. Fosil Sangiran 17.  Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
Gambar 5. Fosil Sangiran 17.  Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Sangiran 17 merupakan masterpiece koleksi dari Sangiran yang sering disebut sebagai "Sang Selebriti" karena duplikat dari fosil ini banyak dikoleksi dan dipajang di museum paleoanthropologi terkemuka di berbagai belahan dunia, serta menjadi rujukan penting dalam merekonstruksi wajah Homo erectus. 

Menurut Harry Widianto dan Harry Truman Simanjuntak (2009, hlm. 69) Sangiran 17 adalah temuan Homo erectus yang paling lengkap dan terbaik dari Sangiran karena terdiri atas atap tengkorak, dasar tengkorak dan muka yang masih terkonservasi secara baik. 

Fosil tengkorak Sangiran 17 merupakan satu-satunya fosil Homo erectus di Asia yang masih memiliki area wajah pada saat ditemukan. Karena itulah mengapa aspek fisik wajah dalam merekonstruksi Homo erectus hanya dapat dicermati melalui fosil Sangiran 17.

Lebih hebatnya lagi, Sangiran 17 merupakan salah satu dari dua fosil Homo erectus di dunia yang ditemukan lengkap dengan area wajah: satu berasal dari Sangiran dan satu lagi berasal dari daerah Afrika. 

Berdasarkan temuan Sangiran 17 maka dapat diperkirakan bahwa kapasitas otak yang dimiliki oleh Homo erectus tipe Tipik adalah 1.000 cc. Proporsi wajah sudah lebih banyak menggambarkan fitur wajah manusia masa kini jika dibandingkan dengan fosil-fosil lainnya. 

Ciri-cirinya meliputi tengkorak dengan tulang tebal, tonjolan alis besar, wajah menonjol, hidung lebar, dan ukuran tengkorak melebar di bagian pangkal. 

Kesamaan proporsi wajah inilah yang menjadikan Sangiran 17 sebagai salah satu faktor dan bukti penguat dalam menjembatani evolusi manusia, sekaligus sebagai The Missing Link atau Mata Rantai yang Hilang.

Fosil Homo erectus, khususnya Sangiran 17 menjadi harta berharga bagi bangsa Indonesia apabila dilihat dari sisi keilmuannya karena menjadi sumber informasi utama bagi para ahli paleontologi maupun sejarawan dalam keterkaitannya dengan evolusi dan rekonstruksi manusia. 

Karena itu sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia merasa bangga dan tergerak untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai The Masterpiece of Sangiran ini. 

Karena hingga detik ini pun masih banyak ilmuwan dan para ahli dalam bidang arkeologi, sejarawan, maupun paleontologi dari berbagai belahan dunia yang terus mengkaji Sangiran 17.

Bagi para pembaca yang ingin melihat secara langsung fosil Pithecanthropus VIII atau Sangiran 17 beserta rekonstruksinya dalam wujud display manusia secara lengkap, maka dapat mengunjungi Museum Sangiran yang berlokasi di Jln. Kebayanan II, Krikilan, Kec. Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah (57275). 

Atau dapat pula terlebih dahulu berkunjung secara daring dengan mengakses laman virtual tour Museum Sangiran melalui link berikut: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/virtualmuseum/sangiran_ID/index.html Selain dapat menambah wawasan terkait evolusi manusia purba, kita juga dapat sekaligus melihat perkembangan dan peninggalan kebudayaannya, begitupun dengan organisme lain yang hidup se-masa dengan mereka seperti gajah purba, buaya purba, kerbau purba, dan lain sebagainya. 

Bahkan kita juga dapat melihat bagaimana proses ekskavasi peninggalan purbakala di Pulau Jawa khususnya di area Sangiran. Sangat menarik sekali bukan? 

Mari kita pelajari lebih lanjut mengenai kehidupan purbakala di Indonesia bersama dengan Museum Sangiran agar kita dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berwawasan luas.

Sumber Referensi

BPSMP Sangiran. (2017). Legenda Sangiran 17. [Online]. Dapat diakses di: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmpsangiran/legenda-sangiran-17-2/

BPSMP Sangiran. (2017). Tipe Homo Erectus. [Online]. Dapat diakses di: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmpsangiran/tipe-homo-erectus/

BPSMP Sangiran. (2018). Homo Erectus Tipik. [Online]. Dapat diakses di: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmpsangiran/homo-erectus-tipik/

BPSMP Sangiran. (2022). Sangiran 17 Sebuah Masterpiece Dari Sangiran. [Online]. Dapat diakses di: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpsmpsangiran/sangiran-17-sebuah-masterpiece-dari-sangiran/

Fathoni, M. R., Aswan. & Zaim, Y. (2021). Kajian Paleontologi Bovidae dari Formasi Bapang Daerah Sangiran Berdasarkan Morfologi, Biometri, dan Morfometri Gigi Molar. Bulletin of Geology, 5(4), 763-779. [Online]. Dapat diakses di: https://www.buletingeologi.com/index.php/buletin-geologi/article/download/165/58

Maulipaksi, D. (2017). Mengenal Situs Manusia Purba Sangiran. [Online]. Dapat diakses di: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/04/mengenal-situs-manusia-purba-sangiran

Nuswantoro. (2017). Jejak Manusia Jawa Purba di Museum Sangiran. [Online]. Dapat diakses di: https://www.mongabay.co.id/2017/12/07/jejak-manusia-jawa-purba-di-museum-sangiran/

Puspaningrum, M. R. (2011). Paleontological Study of Stegodon from Sangiran and the Correlation with Paleoecology and Biostratigraphy. (Tesis). Bandung, Institut Teknologi Bandung.

Rincon, P. (2019). Homo Erectus di Jawa Hidup Paling Lama di Dunia Bertahan Hingga 100.000 Tahun Lalu. [Online]. Dapat diakses di: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50846461

Sutriyono. (2020). "Kedudukan Pithecanthropus erectus (Homo erectus erectus) terhadap Teori Evolusi Manusia dari Perspektif Integrasi Interkoneksi". Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains (hlm. 145-147). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Tobias, P. V. (2022). Homo Erectus. [Online]. Dapat diakses di: https://www.britannica.com/topic/Homo-erectus/Fossil-evidence

Widianto, H. & Simanjuntak, T. (2009). Sangiran Menjawab Dunia. Sragen: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun