Mohon tunggu...
Mentari N Puteri
Mentari N Puteri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana

Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asian Rare Two-horned Rhinoceros: Sumatran Rhinoceros

22 Juli 2020   08:58 Diperbarui: 22 Juli 2020   08:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan satwa endemik Indonesia yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 Nomor 134 dan Peraturan Perlindungan terhadap Binatang Liar tahun 1931 No. 226. Dalam kaitan ini, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan satwa ini dalam Red Data Book dengan kategori Critically Endangered.

Menurut Nicholls (2012), populasi badak sumatera di alam diperkirakan sebanyak 200 hingga 300 individu yang tersisa dan terdistribusi pada wilayah Asia Tenggara. Populasi badak sumatera menurun akibat kehilangan habitat, perburuan liar (Maharani et al 2013), alih fungsi kawasan, perambahan, dan illegal logging (Sadjudin et al 2013). Populasi badak sumatera ini di alam dikhawatirkan saat ini terus mengalami penurunan dan terancam mendekati kepunahan.

Selain faktor-faktor itu, kekhawatiran ini juga diperkuat oleh karakter dari karakter perkembangbiakan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) itu sendiri. Spesies ini terkenal sebagai "slow breeders" atau perkembangbiakannya lambat, padahal di sisi lain badak sumatera termasuk satwa besar yang membutuhkan daerah jelajah dan pergerakan yang luas. 

Kebutuhan aktivitas untuk menjelajah areal yang luas ini sering beresiko bagi keguguran janin yang dikandung satwa betina yang sedang hamil. Ada hubungan positif antara ukuran pertumbuhan dengan kebutuhan jelajah: semakin besar ukuran tubuh satwa, baik dari golongan karnivora maupun herbivora maka semakin luas pula kebutuhan terhadaap areal jelajahnya. Karena itu, menyusutnya kawasan hutan sangat berpengaruh terhadap pergerakan badak sumatera, karena badak sumatera juga membutuhkan habitat yang luas dalam melakukan pergerakannya untuk mencari makanan maupun aktivitas lainnya.

Badak merupakan spesies payung dalam ekosistem yang secara fungsi ekologis berperan sebagai penebar biji. Sebagai mamalia berperut tunggal (tidak memamah biak), makanan mereka tidak tercerna dengan sempurna sehingga biji tertinggal bersama feses dan menyebar di area tempat tinggal badak.

Badak yang suka berkubang, badak yang suka bermain di pohon, dan badak yang  terkenal dengan tubuhnya yang tegap dengan kekuatan untuk berjalan berkilo-kilo jauhnya sebagai penyeimbang ekosistem alam. ketika benih-benih yang menempel di tubuh lengket badak terbang dan akhirnya menyebar tumbuh di tempat lain. Tanpa badak, tidak ada lagi satwa yang bertugas sebagai agen penyebar benih yang efektif. Tanpa badak tidak ada pemasokan oksigen untuk kita semua.

Perburuan liar badak sumatra menimbulkan keprihatinan, sebab harga culanya diperkirakan mencapai US$ 30.000 per kilogram. Spesies ini telah diburu secara berlebihan selama berabad-abad, sehingga membuat populasinya sangat berkurang dan masih mengalami penurunan hingga sekarang. 

Pada tahun 1970-an, dibuat dokumentasi terkait pemanfaatan anggota-anggota tubuh badak di kalangan masyarakat setempat Sumatra, seperti penggunaan cula badak dalam jimat dan adanya kepercayaan masyarakat bahwa cula memberikan beberapa perlindungan terhadap racun. Daging badak yang dikeringkan digunakan sebagai obat untuk diare, kusta, dan tuberkulosis. "Minyak badak", suatu ramuan yang dibuat dengan cara merendam tengkorak badak dalam minyak kelapa selama beberapa minggu, dapat digunakan untuk mengobat penyakit-penyakit kulit.

Hutan hujan di Indonesia dan Malaysia, tempat hunian badak sumatra, juga menjadi sasaran pembalakan liar ataupun yang legal karena harapan untuk mendapatkan kayu keras dari hutan-hutan tersebut. Kayu langka seperti merbau, meranti, dan semaram sangat bernilai di pasar internasional, harganya mencapai $1,800 per m3. 

Penegakan hukum atas penebangan liar sulit dilakukan karena adanya kehidupan manusia di dalam atau dekat dengan banyak dari hutan yang sama dengan yang dihuni badak tersebut. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 telah digunakan sebagai alasan untuk membenarkan aktivitas penebangan kayu yang baru. 

Meskipun kayu keras dalam hutan hujannya badak sumatra ditujukan untuk pasar internasional dan tidak banyak digunakan dalam bidang konstruksi di dalam negeri, jumlah izin penebangan hutan ini telah meningkat secara dramatis akibat tsunami tersebut. Tetapi, walaupun badak sumatra disebut-sebut sangat sensitif terhadap gangguan habitat, tampaknya hal ini tidak sebanding dengan adanya aktivitas perburuan, sebab mereka sedikit banyak mampu bertahan dalam kondisi hutan apa pun.

Kepadatan populasi yang rendah akibat dari laju perkembangbiakan yang rendah membuat populasi badak semakin terancam. Pasalnya, badak Sumatra hidup soliter dengan masa subur yang singkat.

Berdasarkan review yang telah dilakukan diharapkan konservasi pada badak sumatera dapat terus dilakukan agar presentase tingkat kepunahannya semakin menurun mengingat pentingnya badak sumatera dalam ekosistem hutan serta untuk menjaya biodiversitas di Indonesia. Konservasi dapat dilakukan dengan menjaga habitat dari badak Sumatra serta melarang segala perburuan terhadap hewan tersebut. Serta dapat memanfaatkan teknologi dengan melakukan inseminasi buatan untuk mempercepat laju reproduksi dari badak sumatera.

Hidup tersusun dari rantai ekosistem yang saling terhubung satu sama lain. Secara kasak mata, masyarakat yang hidup di perkotaan dan jauh dari hutan tidak memiliki koneksi terhadap badak dan satwa lain yang hidup di sana. Namun sebenarnya kita memiliki hubungan yang erat dengan badak dan satwa lain yang hidup di hutan. Hal yang paling erat dengan hubungan kita dengan ekosistem yang ada di hutan adalah pola konsumsi. 

Pola konsumsi masyarakat urban yang tidak ramah lingkungan akan berdampak secara tidak langsung dengan keseimbangan ekosistem, seperti contohnya konsumsi minyak kelapa sawit yang tidak bersertifikat ramah lingkungan yang berdampak negative pada keberadaan habitat badak dan satwa lainnya. 

Hal ini disebabnkan hutan yang akan terdegradasi, hutan yang menjadi rumah bagi badak dan satwa lainnya akan hilang, dan kita akan kehilangan penyerap karbon sehingga mempercepat pemanasan global. Itu sebabnya, kita sebagai konsumen di perkotaan harus menjadi konsumen yang bijak dan membeli produk yang baik serta ramah lingkungan. Jika kita bisa menjadi konsumen yang bijak dan membeli produk yang baik dan benar, maka kelestarian hutan dan ekosistemnya akan terjaga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun