Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan satwa endemik Indonesia yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 Nomor 134 dan Peraturan Perlindungan terhadap Binatang Liar tahun 1931 No. 226. Dalam kaitan ini, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan satwa ini dalam Red Data Book dengan kategori Critically Endangered.
Menurut Nicholls (2012), populasi badak sumatera di alam diperkirakan sebanyak 200 hingga 300 individu yang tersisa dan terdistribusi pada wilayah Asia Tenggara. Populasi badak sumatera menurun akibat kehilangan habitat, perburuan liar (Maharani et al 2013), alih fungsi kawasan, perambahan, dan illegal logging (Sadjudin et al 2013). Populasi badak sumatera ini di alam dikhawatirkan saat ini terus mengalami penurunan dan terancam mendekati kepunahan.
Selain faktor-faktor itu, kekhawatiran ini juga diperkuat oleh karakter dari karakter perkembangbiakan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) itu sendiri. Spesies ini terkenal sebagai "slow breeders" atau perkembangbiakannya lambat, padahal di sisi lain badak sumatera termasuk satwa besar yang membutuhkan daerah jelajah dan pergerakan yang luas.Â
Kebutuhan aktivitas untuk menjelajah areal yang luas ini sering beresiko bagi keguguran janin yang dikandung satwa betina yang sedang hamil. Ada hubungan positif antara ukuran pertumbuhan dengan kebutuhan jelajah: semakin besar ukuran tubuh satwa, baik dari golongan karnivora maupun herbivora maka semakin luas pula kebutuhan terhadaap areal jelajahnya. Karena itu, menyusutnya kawasan hutan sangat berpengaruh terhadap pergerakan badak sumatera, karena badak sumatera juga membutuhkan habitat yang luas dalam melakukan pergerakannya untuk mencari makanan maupun aktivitas lainnya.
Badak merupakan spesies payung dalam ekosistem yang secara fungsi ekologis berperan sebagai penebar biji. Sebagai mamalia berperut tunggal (tidak memamah biak), makanan mereka tidak tercerna dengan sempurna sehingga biji tertinggal bersama feses dan menyebar di area tempat tinggal badak.
Badak yang suka berkubang, badak yang suka bermain di pohon, dan badak yang  terkenal dengan tubuhnya yang tegap dengan kekuatan untuk berjalan berkilo-kilo jauhnya sebagai penyeimbang ekosistem alam. ketika benih-benih yang menempel di tubuh lengket badak terbang dan akhirnya menyebar tumbuh di tempat lain. Tanpa badak, tidak ada lagi satwa yang bertugas sebagai agen penyebar benih yang efektif. Tanpa badak tidak ada pemasokan oksigen untuk kita semua.
Perburuan liar badak sumatra menimbulkan keprihatinan, sebab harga culanya diperkirakan mencapai US$ 30.000 per kilogram. Spesies ini telah diburu secara berlebihan selama berabad-abad, sehingga membuat populasinya sangat berkurang dan masih mengalami penurunan hingga sekarang.Â
Pada tahun 1970-an, dibuat dokumentasi terkait pemanfaatan anggota-anggota tubuh badak di kalangan masyarakat setempat Sumatra, seperti penggunaan cula badak dalam jimat dan adanya kepercayaan masyarakat bahwa cula memberikan beberapa perlindungan terhadap racun. Daging badak yang dikeringkan digunakan sebagai obat untuk diare, kusta, dan tuberkulosis. "Minyak badak", suatu ramuan yang dibuat dengan cara merendam tengkorak badak dalam minyak kelapa selama beberapa minggu, dapat digunakan untuk mengobat penyakit-penyakit kulit.
Hutan hujan di Indonesia dan Malaysia, tempat hunian badak sumatra, juga menjadi sasaran pembalakan liar ataupun yang legal karena harapan untuk mendapatkan kayu keras dari hutan-hutan tersebut. Kayu langka seperti merbau, meranti, dan semaram sangat bernilai di pasar internasional, harganya mencapai $1,800 per m3.Â
Penegakan hukum atas penebangan liar sulit dilakukan karena adanya kehidupan manusia di dalam atau dekat dengan banyak dari hutan yang sama dengan yang dihuni badak tersebut. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 telah digunakan sebagai alasan untuk membenarkan aktivitas penebangan kayu yang baru.Â
Meskipun kayu keras dalam hutan hujannya badak sumatra ditujukan untuk pasar internasional dan tidak banyak digunakan dalam bidang konstruksi di dalam negeri, jumlah izin penebangan hutan ini telah meningkat secara dramatis akibat tsunami tersebut. Tetapi, walaupun badak sumatra disebut-sebut sangat sensitif terhadap gangguan habitat, tampaknya hal ini tidak sebanding dengan adanya aktivitas perburuan, sebab mereka sedikit banyak mampu bertahan dalam kondisi hutan apa pun.