[caption id="" align="aligncenter" width="260" caption="Istana Merdeka (Sumber: presidenri.go.id)"][/caption] Kemarin melihat foto Pak SBY dan Bu Ani tampak belakang, berjalan bersama bergandengan tangan, dengan jejak-jejak kaki mereka di atas tanah berpasir, saya jadi terharu. Mungkin benar jika dikatakan kita bangsa yang melankolis romantis. Melihat foto Jokowi di sampul Time, saya terharu. Melihat foto Prabowo dan Jokowi akur, saya terharu, dan melihat foto SBY dan bu Ani yang meninggalkan jejak kaki, saya juga terharu. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan selama beliau mempimpin, saya mengucapkan terima kasih kepada pak SBY. Dan terima kasih juga kepada bu Ani, yang menjadi promotor batik dan menjadikan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Banyak hal mungkin saya lupa. Tapi ada satu kenangan saya tidak akan lupa, bahwa saya pernah berkunjung ke Istana Negara. Sudah lama sekali kejadiannya. Saya mantan guru, pernah jadi guru segala macam, mulai dari guru les sampai guru ekskul, mulai dari guru sekolah minggu sampai guru SD, SMP, dan SMA. Jangan tanyakan kenapa saya bisa mengajar banyak, bukan karena guru plus, atau guru plus plus, tapi karena yayasan tempat saya dulu mengajar menuntut agar guru-gurunya serba bisa. Awalnya saya melamar jadi guru bahasa Jerman, tapi karena di sekolah tersebut tidak ada pelajaran bahasa Jerman, maka saya menjadi guru SD sekaligus guru ekskul tari, dan ekskul math-science. Lima tahun kemudian, saya pindah mengajar ke SMP-SMA, di yayasan yang sama. Di SMP saya mengajar PPKN dan Ekonomi, di SMA saya mengajar PPKN, Sosiologi, dan bahasa Jerman. Kata murid-murid saya PPKN pelajaran tukang bohong, misalnya ada pertanyaan: apa yang akan kamu lakukan jika temanmu jatuh? Maka jawaban yang tepat adalah menolongnya. Padahal dalam kehidupan nyata, masih kata murid saya, jika ada teman yang jatuh maka yang pertama dilakukan adalah menertawakannya. Saya pernah ditanya oleh salah satu murid saya, mengapa saya mau mengajar PPKN, padahal latar belakang pendidikan saya bukan guru PPKN? Jawaban saya singkat, karena saya cinta Indonesia. Saat saya menjadi guru PPKN, salah satu studi wisata yang saya ajukan adalah berkunjung ke istana negara. Saat itu memang awal-awal ketika Istana Negara terbuka untuk umum, terima kasih untuk pak SBY dan Bu Ani. Sangat Euforia. Jadi sebenernya gurunya yang pengen banget pergi ke sana, muridnya nggak. Karena saya pengen tahu banget, seperti apa sih istana negara itu... Pada hari yang telah disepakati, akhirnya kami pergi studi wisata ke istana negara. Antriannya panjang, berjam-jam, mana murid-murid saya ngoceh mulu. Tahu gitu mending kunjungan ke Museum gajah aja deh. Memasuki istana itu buat saya adalah sesuatu hal yang luar biasa. Saya ada di tempat, di mana presiden-presiden saya bekerja. Saya ada di tempat, di mana keputusan-keputusan besar dan persoalan bangsa dibicarakan. Roh kepemimpinan, kedaulatan, dan patriotisme seolah menguasai seluruh ruangan. Setelah berkeliling akhirnya kami dikumpulkan di suatu ruangan auditorium yang besar, murid-murid pun duduk di kursi dengan rapih. Kemudian di layar yang besar tampak wajah ibu Ani, sang ibu negara sendiri yang menyambut kami. Sebuah rekaman kata penyambutan, yang diakhiri dengan ucapan: „Selamat Datang di Rumah Bangsa.." Dan saya pun menangis terharu. Saya bukan penggemar bu Ani, tapi entah mengapa kata-kata „Selamat Datang di Rumah Bangsa" begitu membekas di hati saya, berhari-hari kemudian getaran keharuan itu tetap terasa. Bahkan sampai saat ini. Bahwa Istana Negara bukan lagi tempat yang jauh. Bahwa Istana bukan lagi tempat keramat yang tidak tersentuh oleh rakyat. Bahwa orang biasa, rakyat biasa pun bisa masuk ke istana Negara, karena ini bukan rumah siapa-siapa, ini rumah kita bersama. Rumah Rakyat. Rumah Bangsa. Oleh sebab itu saat ini, saya juga mau mengucapkan kepada Pak Jokowi, „Selamat Datang di Rumah Bangsa..." Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H