Pemerintah telah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit yang diselenggarakan di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk melakukan sosialisasi konsep Public Private Partnerships (PPP) yang akan diimplementasikan dan menarik minat para investor swasta agar dapat bekerjasama untuk menyediakan infrastruktur di Indonesia (pelabuhan,jalan tol,dan bandar udara). PPP merupakan bentuk perjanjian yang dilakukan oleh sektor publik (Pemerintah) dengan sektor privat (Swasta) untuk menyediakan sarana layanan publik dan terbagi menjadi beberapa bentuk sesuai dengan kontrak dan pembagian risiko yang akan terjadi.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 terkait proses dan cara kerja dari PPP dijelaskan bahwa pelaksanaan PPP harus dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan,keterbukaan,transparan,dan juga memiliki daya saing. Proses kerja dari PPP diawali dengan adanya seleksi dan prioritisasi proyek,studi kelayakan dan uji ketuntasan,negoisasi,dan adanya manajemen publik. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP,jaminan dalam mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market prices),mendorong kesanggupan lembaga keuangan dalam menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees dan untuk mengurangi adanya kegagalan dalam sebuah proyek.
      Didalam Perpres Nomor 67 Tahun 2005 pun juga dijelaskan bahwa PPP memiliki tujuan dalam pelaksanaannya,yaitu untuk meningkatkan kuantitas,kualitas,dan efisiensi pelayanan yang memiliki daya saing,mencukupi kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan melalui dana swasta,mendorong prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima. Oleh karena itu,beberapa negara mengimplementasikan konsep PPP dengan berbagai alasan seperti untuk meningkatkan efisiensi operasional (United States),meningkatkan persaingan (United Kingdom),dan meningkatkan lapangan pekerjaan (India).
      Indonesia memilih konsep PPP sebagai alternatif yang dilakukan oleh pemerintah saat pembangunan infrastruktur mulai terhambat akibat adanya krisis moneter. Saat itu,kondisi moneter di Indonesia semakin terpuruk sehingga Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 terkait Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur. Akan tetapi,upaya tersebut belum berhasil dilakukan dan kondisi moneter mengalami capital flight yang cukup besar.
      Pada tahun 2005,pemerintah mulai mengambil langkah serius untuk menerapkan konsep PPP dengan menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit I yang diselenggarakan pada pertengahan Januari 2005. Dalam acara tersebut,terdapat 91 proyek yang ditawarkan oleh pemerintah kepada para investor swasta sebagai bentuk proyek kerjasama Pemerintah-Swasta. Lalu dilanjutkan dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006) yang menawarkan 111 proyek  sebagai bentuk kerjasama dengan para investor swasta.
      Pemerintah melakukan evaluasi dan mendapat tiga hal yang harus segera diselesaikan. Pertama,membentuk kelembagaan baru yang akan mendukung pelaksanaan PPP; kedua,melakukan reformasi,revisi,dan menyelaraskan berbagai aturan yang saling bertentangan dan berpotensi menghambat masuknya investasi; ketiga,meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada.
      Untuk menyelesaikan hal-hal tersebut,pemerintah membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada bulan Mei 2005. Komite ini bertugas untuk merumuskan strategi untu mengkoordinasikan pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur,menetapkan upaya penyelesaian berbagai permasalahan,merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation),dan mengkoordinasikan serta meninjau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri terkait dan Pemerintah Daerah.
      Selanjutnya,pemerintah melakukan penyelarasan,reformasi,dan revisi terhadao berbagai aturan yang tidak market friendly. Hal ini terlihat dari adanya beberapa peraturan kebijakan terkait,seperti terbitnya Perpres Nomor 67 Tahun 2005 terkait Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dama Penyediaan Infrastruktur (revisi Kepres Nomor 7 Tahun 1998),terbitnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 terkait Perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 terkait Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,Perpres Nomor 71 Tahun 2006 terkait Penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Menggunakan Batubara,dan dikeluarkannya Permenkeu Nomor 38 Tahun 2006 terkait Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur.
      Lalu,Pemerintah membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan berintegritas. Andal berarti memiliki kompetensi tertentu untuk melaksanakan tugas secara baik, dan komunikatif dalam menghadapi para investor swasta untuk membahas proyek. Berintegritas berarti tahan terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh para investor yang unfair terhadap proposal proyek agar disetujui untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah.
      Kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia pada tahun 2005-2009 totalnya mencapai sekitar Rp1.400 triliun. Hal ini diasumsikan dengan asumsi kurs Rp9.000 per USD maka kemampuan pembiayaan dalam negeri yang disediakan oleh pemerintah (APBN) mencapai sekitar Rp255 triliun (17 persen) dan perbankan nasional sekitar Rp270 triliun (21 persen).
      Akan tetapi,adanya proyek PPP tentu akan berdampak terhadap APBN,baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Di sisi pendapatan,pihak investor berupaya proyek PPP-nya mendapat dukungan dari pemerintah baik berupa permintaan pembebasan atau keringanan pajak,bea,maupun tarif. Lalu,di sisi belanja,pihak investor juga berusaha mendapat dukungan pemerintah berupa pemberian subsidi atau dana jaminan (guarantee fund). Dana dukungan pemerintah yang akan dialokasikan dalam APBN tersebut diluar alokasi dana penyediaan infrastruktur yang bersifat tidak komersial.