Mohon tunggu...
Hasto Pandito
Hasto Pandito Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Pengalaman Jalan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Biting

21 Mei 2015   22:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketemu biting di tempat jualan sarapan pagi sudah jarang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia biting atau bi-ting adalah penyemat yang dibuat dari lidi (bambu) untuk menyemat daun pembungkus. Biting menjadi penting karena sebagai penutup nasi bungkus, atau makanan yang dibungkus daun pisang atau kertas nasi supaya dapat dibawa atau dijinjing.

Bahan dari biting selain dari bambu bisa juga dari sulurnya daun kelapa. Biasa biting diambil dari sulur daun kelapa yang sudah tua supaya dapat ditusukkan ke daun pisang sebagai pembungkus.

Nasi bungkus yang memakai biting pada era teknologi seperti sekarang masih diminati dan masih dicari karena nasi bungkus termasuk murah. Sebagai sarapan yang relatif murah ini bisa dijumpai dimana saja termasuk di Bandara Soekarno Hatta. Dulu waktu orang jualan tidak seketat pengawasannya seperti sekarang tukang nasi bungkus bisa dijumpai di tempat parkir mobil. Khas, karena jualannya tidak banyak hanya satu keranjang yang digendong di belakang. Itu saja. Tempat jualannya bisa berpindah pindah karena menghindari supaya tidak ketahuan petugas.

Biting sebagi penyemat nasi bungkus masih mudah dijumpai sambil menunggu pesawat terbang di Bandara. Kontras sekali dengan situasi sekelilingnya dimana resto dan café mahal berjejer di sepanjang ruang tunggu penumpang pesawat. Satu gelas kopi bisa seharga lima belas ribu rupiah, sedangkan sebungkus nasi cukup membayar empat ribu rupiah dengan lauk seadanya atau bisa disebut nasi rames, atau lauk sedanya yang jual lah. Ditambah dengan minuman teh yang dibungkus dalam pelastik supaya bisa dibawa.

Biting sebagai ikon nasi bungkus juga masih suka dijumpai di stasiun Kerata Api di Tawang, Semarang. Namun harganya sekarang sudah kejar-kejaran dengan segelas kopi di Bandara. Harga nasi pecel non tahu/ tempe sudah lebih dari lima ribu rupiah. “Kok, mahal?” tanya saya. “Daun pisangnya mahal, pak”. Kalau ndak pake daun pisang aromanya kurang sedap”, tambah penjual.

Kini nasib biting bersaing dengan steples atau hekter sebagai penyemat nasi bungkus. Biting dalam bentuk lain menjadi sapu lidi masih tetap menjadi idola. Kini sapu yang terbuat dari biting atau sapu lidi naik kelas karena sapu lidi melangit mencapai tujuh belas ribu lima ratus rupiah jauh di atas harga sapu yang terbuat dari ijuk atau awis (bhs. Sunda).

Biting sebagai penyemat nasi bungkus memang seperti tidak ada artinya. Tusuk gigi yang terbuat dari bambu telah menjadi produk pabrikan, bahkan telah membuka lapangan pekerjaan bagi sekian ratus atau ribuan pengrajin tusuk gigi. Tusuk gigi kemudian menjadi penyemat nasi bungkus atau “bonus” untuk panganan, snack atau nasi kotak. Biting dalam bentuk tusuk gigi masih bisa dijumpai kalau naik pesawat sebagai pelengkap makan di pesawat. Bahkan dibungkus dengan kertas dengan logo sebuah maskapai penerbangan.

Perjalanan bi-ting ternyata masih panjang, mungkin. Entah jadi apalagi biting yang hanya ada di Indonesia, ….mungkin. salam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun