Mohon tunggu...
Hasto Pandito
Hasto Pandito Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Pengalaman Jalan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan ke Citorek- Episode Satu

26 Januari 2015   05:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah buku catatan perjalanan lama yang kertasnya sudah menguning tertulis diperlukan tambahan tulisan untuk membuat laporan.

Perjalanan waktu itu yang pertama kali bagi saya untuk mulai petualangan baru merapat ke pedesaan pinggir hutan. Dengan misi jalan-jalan mengambil gambar/ foto , potret dari aktivitas petani, kondisi alamnya/ landscape, peninggalan/ situs dan lingkungan serta pohon-pohon yang mengelilinginya. Begitulah pesan teman dalam rapat singkat sebagai persiapan sebelum berangkat ke Citorek. Kata-kata teman yang memberi pesan masih lugu sebagai seorang aktivis, belum terlalu banyak diskusi dan belum banyak dipengaruhi bahasa tinggi dari buku yang sangat akademis.

Maka berbekal kemampuan yang diajar secara singkat tentang fotgrafi pertama kali itulah saya memegang kamera mahal Nikon FM2, waktu itu. Kamera yang berjago di jamannya dan masih menggunakan roll film di dalamnya yang kemudian harus cuci film supaya gambar atau foto bisa dilihat, piye... enak g di  jamanku ? Sebelum memulai perjalanan dibuat terlebih dahulu rencana jepretan atau kira-kira gambar yang akan diambil ditulis karena harus berhemat .

Setelah kembali dilakukan prosesing foto sampai dengan cetak, kemudian disortir mana foto yang bagus mana yang tidak. Dari 2 rol film slide dan color yang saya bawa relatif memuaskan dan bisa menceriterakan sebuah perjalanan.

Setelah proses cuci cetak foto jadi  diambil beberapa untuk dimasukkan ke sebuah album foto. Album ini menjadi jadul banget di masa sekarang. Album tersebut di tambah caption ketikan yang bercerita tentang gambar/ obyek yang saya jepret. Album ini masih tersimpan dengan baik di sekretariat, lumayan kantor punya ruangan ac bisa menyimpan film dan foto, atau slide.

Pada kunjungan berikutnya masih dalam rangkain menggali potensi lahan dan hutan Citorek album foto tersebut diperlihatkan kepada mereka. Rata-rata mereka sangat surprise karena wajah mereka yang ada dalam foto tersebut. Album tersebut sangat efektif untuk membuat sebuah rangkaian cerita untuk menggali lebih tentang sumberdaya alam lokal.

Sekedar tambahan biar ceritanya panjang, kondisi alam petani hutan di Citorek yang sangatlah lekat dengan budaya ditandai dengan konsep kebun hutan/ agroforest, hutan tutupan. Istilah istilah lokal tersebut juga ditulis di dalam caption foto di dalam album sehingga keterbatasan bahasa lokal saya bisa tertutupi dan maksud dari pembelajaran bersama tercapai. Foto di dalam album juga digunakan untuk melihat kembali/ review tentang sudut pandang yang berbeda dari petani dan saya sebagai orang luar. Sehingga antara saya, tim dan petani Citorek menemukan satu pemahaman yang sama terhadap gambar/ foto terhadap potensi sumberdaya lokal.

Pendekatan dengan petani yang lain adalah dengan membeli barang-barang kerajinan lokal seperti todung/ tudung yang dibuat dari anyaman bambu. Pendekatan ini hanya sedkit saja bisa mengetahui bagaimana kehidupan wanita petani di Citorek. Yaa, tidak masalah yang penting proses komunikasi terus bergulir sehingga tidak berhenti atau mandeg. Dari sini saya mengetahui bahwa otoritas keputusan semua tentang bertani, mengambil produk hutan dan ekonomi rumah tangga ada di tangan kaum laki-laki.

Untuk bisa mendekati lebih dekat dengan petani supaya mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan ekonomi sebuah keluarga di kampung Citorek saya melakukan live in, ngampung, tidurnya “ngaprak” dimana-mana.

Foto masih selalu menarik untuk dibahas dimana saya bertada di rumah petani di kampung Citorek. Selama kurang lebih bulan ke-3 dari kunjungan saya yang rata-rata selama 2 minggu di Citorek membuahkan hasil semakin paham petani tentang misi saya dan potret dari potensi sumberdaya alam lokal tanpa perlu mendatangkan dari luar desa.

Karakter petani hutan yang masih memegang teguh adat kasepuhan menjadi lebih menarik karena ternyata pimpinan adat lebih berpengaruh dari pada seorang Kepala Dukuh atau Kepala Desa.

Kearifan lokal tentang sumberdaya hutan dan hubungan kekerabatan masih dijunjung tinggi. Patuh terhadap keputusan kasepuhan Guradog adalah kontrak mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi..

Guradog adalah nama kampung atau dukuh tua Citorek yang menjadi nama sebuah kasepuhan. Menurut cerita ada 9 jumlah kasepuhan yang ada di Jawa Barat. Sedangkan penamaan Citorek adalah nama desa yang mengalir sungai tidak bersuara, itulah Citorek.

Salam ini dulu.

Tulisan jaman dulu di tahun 1998

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun