Guru adalah simbol kedalaman ilmu dan moral. Guru bahkan menjadi penyebab betapa berharganya sebuah pengakuan dunia. Begitu juga ketika manusia ingin menempuh jalan takdirnya, guru jembatan ‘tak bernilai’ meraih segala bentuk ambisinya. Inilah kira, ilustrasi dongeng Drona, guru para putra mahkota-kesatria, dan keturunan raja-raja dalam serial pewayangan Mahabharata. Guru Drona memang istimewa. Istimewa karena ilmunya. Istimewa karena bermoral tinggi dalam mencetak para muridnya menjadi kesatria tangguh. Justru disinilah letak tanggungjawab sebagai guru, amanah yang harus dijalankan dengan benar demi generasi hebat mendatang. Generasi yang mampu menjaga kehormatan bangsa dan negara. Bagi guru Drona, menyiapkan pewaris tongkat estafet kepemimpinan mendatang Hastinapura, merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Mampu menguasai seni segala macam senjata, lihai dalam ilmu keprajuritan, ahli dalam meracik strategi dan selalu tepat menentukan formasi perang, menjadikan guru Drona sebagai kesatria yang disegani. Atas faktor itulah, dalam perang Bharatayudha, Drona diangkat menjadi Senopati Agung Kurawa setelah gugurnya Bisma oleh pangeran Hastinapura Duryudana, keputusan rasional tak terbantahkan. Sulit untuk membedakan keduanya, sama-sama hebat, kuat, mampu dan cerdas. Yang membedakan, Bisma cucu Raja Pratipa dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja Kuru, pemilik tegal bernama Kurukshetra. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma yang memerintah di Hastinapura. Sedangkan Drona keturunan keluarga Brahmana, putera dari pendeta Bharadwaja. Drona yang miskin menghabiskan masa mudanya dalam kesederhanaan dan sahaja. Namun berangsur-angsur, ekonomi keluarganya mengalami perbaikan setelah Drona diangkat sebagai guru, sekaligus kesatria penting dalam membentengi kekuatan Hastinapura. Drajat yang lebih tinggi didapatkan karena penghargaan terhadap ilmunya, satu sisi. Disisi yang lain, Drona menjadi pelengkap alat kuasa kerajaan, patuh-tunduk terhadap titah sang penguasa, siap mendukung setiap kebijakan sang raja.
Sebab kemampuannya, para putra mahkota, keturunan para raja berbondong-bondong ‘diasramakan’ untuk menempa diri menjadi kesatria yang hebat. Sebut saja Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa putra pandu. Guru Drona juga mencetak kesatria seperti Duryudana, Dursasana dan seratus para putra Destrarastra dalam menguasai keahlian dalam ilmu perang. Kenapa ilmu perang? Tentu, dalam sebuah kerajaan dibutuhkan para kesatria tangguh untuk menjaga, membela kehormatan nama besar kerajaan.
Lalu apa hubungan guru Drona dan konteks kekuasaan saat ini? Drona hanya tokoh dalam metos pewayangan, tidak memiliki urgensi dan berkaitan langsung dengan kekuasaan. Meski demikian, tokoh Drona mungkin relevan dikaitkan dengan pola-perilaku kekuasaan dalam memperlakukan guru sebagai obyek politis penguasa. Inilah deskripsi. Guru selalu menjadi bagian penting dalam keberlangsungan, tumbuh-suburnya kekuasaan. Bahkan guru perlu dieksploitasi, dipolitisasi, dan diintimidasi untuk kepentingan dominasi elit politik. Sebagai obyek politik, guru menuruti setiap rencana, janji, dan alibi kekuasaan. Dalam sebuah spektrum politik lokal kekinian Kabupaten Pamekasan, guru menjadi salahsatu unsur kuat dalam meraih dukungan. Tak pelak, ketika janji politik peningkatan honor GTT/GTY guru sekolah swasta dan madrasah setara dengan UMK Pamekasan, yakni Rp 900 ribu per bulan menjadi komoditas opini yang paling ampuh menarik simpati para guru. Seperti tetesan air hujan saat kemarau panjang, dahaga lama seolah terobati seketika. Siapa yang tidak bangga mendapati kabar menyenangkan seperti itu. Yakin, semua guru berharap janji itu benar, janji yang nyata. Inikah intrik kekuasaan? Ketika janji hanya janji, dan kekuasaan menjadi ilusi. Dilema guru, pelengkap derita. Wallahu’alam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H