Mohon tunggu...
Herdianto
Herdianto Mohon Tunggu... Konsultan - Earth Walker

Apa adanya dan juga Pecinta mendol

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pokoknya, Kamu Harus Terus Bodoh!

13 Mei 2013   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:39 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru saja saya masukke sebuah kafe 24 jam, saya mendengar cukup jelas seorang Ibu berkata-kata pada anaknya..

…“Pokoknya kamu harus lulus, Ibu sudah habis banyak, Bapak sudah kerja mati matian, kamu itu sudah kelas 12, ini tahun terakhir kamu sekolah, pokoknya bagaimanapun caranya kamu harus lulus, nggak tahu nilai bagus, nilai pas pasan, pokoknya….”….

Ucapan itu saya dengar setelah saya pulang mengantar tamu dari jalan-jalan ke Kuta. Saya lihat ibu itu memasang tangan kirinya di pinggang, dan tangan kanannya terus menuding si anak, yang mirip dengantenaga kerja yang menjadi korban “perbudakan” pabrik kuali di tangerang.Sementara sang ayah Nampak lahap dengan menu “Junkfood”, yang jelas jelas dalam pelajaran biologi sang anak sangat tidak dianjurkan. Fragmen ini saya rekam ketika saya hendak memesan satu cangkir kopi hitam kesukaan saya.

Ingatan saya kembali ketika saya masih sekolah dulu, yang justru bertolak belakang dengan anak-anak sekarang. Justru, saat itu tiap kali mau melaksanakan Ujian Nasional yang saat itu disebut EBTANAS, saya selalu menyempatkan diriuntuk berlibur, preian, mencoba untuk menenangkan pikiran saya sendiri. Ketika teman - teman lain sibukbelajar, atau bahkan menyiapkan contekan demi kata “pokoknya lulus” tadi, saya malah sibuk renang di Pantai jolosutro yang indah. Dalam pemikiran saya waktu itu, lha wong sudah belajar 6 tahun, mana mungkin mengulang semua 6 tahun dalam semalam. Esensinya kalau kita “paham dan mengerti” (bukan HAPAL), maka kita akan siap dengan pertanyaan model apapun, mulai trivia, Essai atau bahkan hitungan. Dan hasilnya ….? Saya naik kelas walaupun tidak juara, saya lulus walaupun tidak ranking.

Dari situ, saya mencoba membandingkan, dan menemukan beberapa hal yang menjadi “narkoba” pendidikan saat ini. Dulu, tidak banyak dunia maya ( bahkan hampir tidak ada) sehingga yang namanya waktu belajar lebih banyak dibanding selancar.Dulu stasiun tivi ya Cuma TVRI ( yang sekarang sudah tidak menjalin persatuan dan kesatuan), sekarang..? banyak pilihan channel, di satu kota saja bisa sampai 15 channel, di luar tivi kabel, nah lho? Dulu, mall masih jarang, pasar malam dan layar tancap yang keliling di kampong-kampung. Kesimpulan dalam versi saya. Hiburan di era saya sangat sedikit, sehingga kita sebagai anak-anak dituntut untuk bisa mencari sampai membuat hiburan sendiri. That’s why we are so creative. Karena banyaknya KURANG di masa itu , maka otakanak-anak di era tersebut diputar sekeras-kerasnya untuk mencari dan membuat hiburan sendiri. Hasilnya mulai mancing, layangan, prosotan, main ketapel, perang mercon bumbung, congklak, tali karet di lapangan, gobak sodor, renang di sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang akhirnya mendekatkan kami anak-anak di masa itu lebih dekat dengan alam.

Anak-anak jaman sekarang?Mereka sangat dekat dengan alam , alam maya.

Kenapa harus alam? Karena sesuatu yang alamiah akan menghasilkan hal-hal yang abadi. Maka mulailah ajak putra – putrid anda untuk dekat dengan alam, kalaupun tidak mampu rekreasi, mulai dari rumah, jangan biarkan mereka menjadikan rumah sebagai kost-kostan, datang – mandi ganti baju berangkat lagi lalu pulang jelang pagi. Tidur sekejap, esoknya mengulangi hal itu-itu lagi. Pokoknya itu-itu lagi.

Maka, yang namanya pendidikan, mari kita lihat dari prosesnya, bukan hasilnya.Karena pokok permasalahannya adalah si anak itu sendiri, bukan nilainya bukan lulus atau tidaknya.

Pokoknya anda yang merasapunya anak, pedulilah dengan anakmu bukan nilainya atau kelulusannya. Pilih anak anda lulus jadi gayus? Atautidak lulus dan menjadiKoruptor?

Pokoknya anda yang tahu.

Pokoknya itu saja dulu.

Mei 2013, di kitchen sebuah cafe

masih mencari bahan pokok mendol

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun