Mohon tunggu...
Rusydi Hikmawan
Rusydi Hikmawan Mohon Tunggu... -

Igauan guru sekolah dasar di kabupaten Lombok Timur, NTB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Rakyat

6 Maret 2010   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wajib nuntut ilmu, ndeq ‘te wajib tau

[caption id="attachment_87357" align="alignleft" width="91" caption="shofia mau sekolah terus"][/caption]

Itu pepatah Sasaq yang masih saya ingat. Harus mencari ilmu, tapi tidak harus menjadi pintar dengan ilmu itu, kurang lebih begitu maksud kalimat itu. Kalimat yang menyemangati saya untuk selalu belajar dan terus belajar. Namun saat ini, sulit rasanya untuk bisa belajar. Karena harus sekolah, dengan sekolah yang tentunya tidak dengan biaya yang murah.

Belajar di sekolah di mana saja kini tidak bisa semudah dulu. Tapi di kabupaten tertimur di Pulau Lombok ini memang sempat menjadi sejarah belajar dengan biaya murah, alias gratis. Kabupaten yang menjadi pionir dan bagian dari mata rantai sejarah pendidikan ini telah dimulai dari majelis-majelis di surau di desa-desa oleh guru ngaji di akhir penjajahan Belanda, atau di awal pendudukan Jepang di Indonesia.

Alhasil, kebutuhan akan pendidikan dan pengajaran rakyat Lombok Timur saat itu benar-benar terpenuhi. Proses pendidikan pro rakyat yang digagas oleh maulanasysyaikh TGKH. Muhammad abdul majdi. Dari surau hingga mendirikan pondok pesantren Al Mujahidin di Kampung Bermi Pancor tahun seribu sembilan ratus tiga puluh empat. Pondok pesantren tersebutlah yang menjadi cikal bakal berdirinya metode pendidikan modern – dari sistem halaqoh ke semi klasikal – di Lombok Timur.

Ketika pendidikan menjadi suatu yang mahal saat itu dan tidak mungkin rakyat pribumi mendapatkannya, oleh Maulanasysyaikh itu diniscayakan dengan mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathon Diniyah Islamiyah (NWDI).

Adalah keadaan umat Islam di Lombok saat itu masih terbelakang, berada dalam kebodohan akibat tekanan dan penjajahan Belanda serta lamanya Kerjaan Hindu Bali bercokol di Pulau Lombok, maka Maulanasysyaikh berinisiatif mendirikan sekolah pro rakyat berupa madrasah (sekolah - red.).

Dan ternyata, peralihan masa penjajahan dari Belanda ke Jepang pada delapan Maret seribu sembilan ratus empat puluh dua tidak banyak mengalami perubahan mendasar. Itu dibuktikan oleh Vastenhow saat itu melalui penelitiannya, bahwa setelah lima tahun anak tamat sekolah desa atau sekolah kelas dua, mereka tetap saja buta huruf. Itu dikarenakan pelayanan pendidikan bagi anak-anak dari rakyat pribumi dengan anak-anak Belanda sangat berbeda dan sekolah yang didirikan Belanda hanya untuk kepentingan Belanda saja.

Melihat itu semua, wajar saja, tiga sekembali dari Makkah atau setelah sebelas tahun belajar di Shaulatiyah – sejak tahun seribu sembilan ratus dua puluh tiga hingga seribu sembilan ratus tiga puluh empat, Maulanasysyaikh giat mengajar dengan sistem halaqah. Hingga akhirnya didirikan madrasah NWDI pada dua puluh dua Agustus seribu sembilan ratus tiga puluh tujuh.

Namun bagaimana dengan sekolah bahkan pondok pesantren saat ini? Masih adakah sekolah rakyat atau pondok pesatren seperti madrasah yang didirikan Maulanasyasyaikh dengan pengakuan resmi dari Pemerintah Hindia Belanda melalui surat izin Oos Lombok tertanggal tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus tiga puluh enam itu? Ke mana lagi rakyat mendapat pendidikan dan pengajaran murah? Sepertinya tidak ada lagi. Karena semua memiliki cost (biaya-red.), tak terkecualai bersekolah untuk hak dasar pendidikan dan pengajaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun