Oleh Agus R. Sarjono
Selamat pagi pak,selamat pagi bu, ucapan anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapuun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelotong kualitas palsu.
Catatan menapaki:
Saya, sepertinya, pernah bertemu si pemilik Sajak Palsu itu. Tahun ketika saya lulus es-em-a. Saat itu sejumlah sastrawan berkunjung ke NTB, tepatnya di balai guru di depan sekolah saya. Buku yang saya dapat dari salah satu mereka pun sempat ditandatanganinya. Sajak Palsu mengingatkan saya proses mengajar saya sebagai guru saat ini. Membuat saya miris melihat tingkah polah guru yang telah membuat ahli-ahli palsu dan pembangunan palsu dari kelas-kelas mereka. Semoga saja, apa yang ditulis redaktur majalah Horizon itu tak lagi berkembang hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H