Tuan yang berkuasa,
tataplah kehidupan kami, hidup di tepi kaki bumi, beratap awan sepi
tak henti meratapi dingin, lelap berselimut kabut.
Mentari yang menemani, memberi semangat untuk menjejaki jalan ini
menekuk sisa tulang, menghempas gelombang bersama angin. Tataplah kehidupan kami
tuan yang berkuasa,
anak kerikil menemani jalan panjang kami, satu generasi terlewati, tajam
menembus hati, anak-anak hanya ingin mengaji.
Tak ada deretan meja kokoh di kelas ini. Separuhnya tinggal menunggu mati
generasimu tak berakal, terpekur imaji: adakah guru datang hari ini?
Tuan yang berkuasa,
pupuk tak terbeli, jutaan bulir padi tak bisa dinikmati. Tiga bulan menanti
ruang perut kami tak bisa menanti. Gemuruh kematian berbaris rapi mengabari
petani akan mati.
tuan yang berkuasa,
bukan tentang materi, nasib kami tak sejalan dengan tumpukan uang sehari
beri kami ruang untuk berdikari, tegakkan rapuh kaki ini
sauh kami berharap mampu menerjang badai
kabar pembangunan jalan menuju sekolah bukan lagi janji
pupuk dan irigasi datang membawa asa yang lama terkubur mati
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI