Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Putri Marino dan Buku Kumpulan Puisinya

5 Januari 2020   22:43 Diperbarui: 5 Januari 2020   22:47 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin Putri Marino sempat menjadi buah bibir di twitter. Netizen berdebat soal buku kumpulan puisi miliknya yang baru saja terbit. Salah seorang netizen menyuarakan cuitannya yang mengandung konteks bahwa Putri memiliki kemampuan akting yang mumpuni, namun tidak untuk berpuisi. Intinya begitu. Rasa penasaran membawa saya untuk membaca satu persatu twitt mereka yang juga ikut merespon tentang buku tersebut. Ada yang pro ada juga yang kontra. Yang pro beranggapan bahwa sah-sah saja orang menulis dan menerbitkan karyanya, termasuk menulis puisi. Kalau tidak suka dengan puisi Putri, ya tidak usah dibaca. Lagian dalam sastra itu tidak ada jelek atau bagus, sastra itu bebas dan soal selera. Begitu kiranya yang saya tangkap dari mereka yang pro. Bagi yang kontra, banyak dari mereka beranggapan bahwa buku kumpulan puisi tersebut tidak pantas disebut sebagai buku kumpulan puisi. Pemilihan diksi yang itu-itu saja, seperti kala, senja, dan semesta, serta gaya bahasa yang tidak puitis membuat karyanya tak pantas disebut puisi. Ada juga yang menganggapnya sebagai sampah, yang lainnya juga beranggapan buku tersebut hanya buku kumpulan "Quote" bukan puisi atau sajak.

Luar biasa bukan. Baru saja terbit sudah menuai hujatan sebegitu rupa. Puisi-puisi Putri Marino punya akun instagramnya sendiri dengan nama @poempm, dan saya sesekali mengengok akun tersebut karena memang nyatanya saya penggemar puisi. Dengan gaya bahasa sehari-hari, puisi/sajak PM memang tidak sepuitis puisi/sajak para penyair kondang seperti Bpk Sapardi. Memang jika sekilas dilihat, sajak-sajak PM terbilang pendek-pendek. Mungkin inilah yang menjadi alasan kuat bagi mereka yang kontra menganggap sajak PM itu lebih mirip sebuah kutipan saja. Tapi toh orang juga kan punya style-nya masing-masing dalam mengolah kata.

Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan sastra, ilmu saya untuk memberi penilaian atau kritikpun masih sangat cetek. Jadi saya belum berani memberi kritik yang wah. Jadi menurut perspektif saya sebagai seorang penikmat puisi dan sajak, sejatinya jelek atau bagus bukan tolak ukur untuk menilai sebuah karya sastra. 

Pengarang bebas berekspresi sebagaimana yang mereka mau. Bebas, harus bebas, karena jika penulis tidak bebas dalam menulis, maka dia akan terkekang dan cenderung tidak menjadi dirinya sendiri. Dan apa yang dilakukan PM adalah bentuk kebebasan berekspresinya lewat kata-kata yang dia sebut sajak/puisi. Kalau anda atau saya tidak suka, ya tidak usah dibaca bukunya. Mengkritikpun ada etikanya, bukan mencela atau menghina secara subjektif. 

Kita harus objektif. Puisi juga kan soal penghayatan bukan sekadar dibaca sekali dua kali atau bahkan sekilas. Kadang perlu membacanya berulang kali sampai kita benar-benar bisa menghayati puisi tersebut.

Dan ada juga anggapan bahwa mudah sekali bagi artis atau siapapun yang sudah punya nama dan popularitas untuk menerbitkan sebuah buku, termasuk PM itu sendiri. Sedangkan banyak penulis yang jauh lebih berbakat diluar sana berjuang agar bukunya diterima penerbit dan tak jarang harus mengalami penolakan berkali-kali. Hemm, jujur ini menarik sekali bagi saya. 

Sekarang begini, tidak ada penerbit yang mau rugi karena buku yang mereka terbitkan kurang atau malah tidak laku terjual. Kita bisa lihat betapa banyak buku-buku di toko buku, yang rasanya memang kurang laku terjual. Dengan menerbitkan sebuah buku dari tokoh terkenal seperti artis, pejabat, selebgram, atau siapapun mereka yang sudah banyak penggemar dan pengikut bisa memberikan berbagai macam keuntungan bagi penerbit. 

Ya kita tidak bisa munafik dan pura-pura menutup mata soal itu. Pasti kesempatan untuk memperoleh omzet penjualan dari buku tersebut jauh lebih bisa diandalkan daripada penulis-penulis yang belum punya nama sama sekali, kecuali memang kalau karyamu itu luar biasa bagus dan punya kekuatan sendiri. 

Saya sendiri sebagai pembaca tidak masalah jika orang-orang terkenal tersebut menerbitkan buku atau bahkan dikejar penerbit. Ya sah-sah saja, selama buku itu memang pantas disebut buku, dan memiliki bobotnya sendiri. Bukan serta merta cuma jual nama. 

Jual buku berarti jual isi buku tersebut, bukan jual nama si pengarang apalagi kalau pengarangnya artis atau tokoh ternama. Jika hanya jual nama saja tanpa mempertimbangkan isi atau bobot bukunya, kadang malah memunculkan sebuah sugesti untuk para penggemar/followers mereka bahwa buku itu pasti bagus karena ditulis oleh idola mereka. Jatuhnya malah subjektif bukan objektif. Ini yang bahaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun