Membongkar Muslihat Elit Eks. PNMP dan Pentingnya Literasi Politik
Oleh Hasim Adnan
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan telaah terhadap tulisan ini, penulis menyarankan untuk terlebih dahulu merujuk tulisan sebelumnya berjudul “Sekali Lagi tentang Pendamping Desa” (http://www.kompasiana.com/menang/sekali-lagi-tentang-pendamping-desa5736e013b392736907a3685b). Hal ini penting penulis kemukakan di awal, agar tidak disalahpahami ketika mengambil kesimpulan.
Hasil pengamatan penulis terkait polemik mengenai pendamping desa ini bermula dari ketakutan segelintir elit pendamping Eks. PNPM Perdesaan yang menjadikan kerja-kerja pendampingan di tingkat akar rumput sebagai profesi belaka. Nah, ketika UU Desa terbit, eksistensi dan “jabatan” mereka sebagai fasilitator (istilah yang digunakan dalam program PNPM) Perdesaan tidak lagi terakomodasi.
Meski demikian, keberadaan fasilitator Eks. PNPM Perdesaan tidak serta merta dihentikan. Hal ini terbukti manakala para fasilitator tersebut masih diberikan beberapa kali perpanjangan kontrak dalam rangka mengisi kekosongan tenaga pendamping desa selama masa transisi. Alih-alih berterima kasih, segelintir elit fasilitator Eks. PNPM melakukan manuver politik terkait program pendamping desa.
Manuver politik para elit eks. PNPM Perdesaan tersebut dimulai dengan melancarkan strategi dan taktik Belanda ketika menjajah nusantara, devide et impera, alias politik pecah belah. Hal ini tampak dengan sempat munculnya perseteruan antar dua kekuatan parpol, PKB dengan PDIP yang sejak awal berdarah-darah dan konsisten memperjuangkan pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres.
Beruntung perselisihan antara PKB dan PDIP tak berlarut lama yang ditandai dengan pernyataan Sekjend (Sekretaris Jendral) dari masing-masing partai tersebut untuk sama-sama mencounter serangan politik devide et impera yang dijalankan oleh segelintir elit eks. PNPM Perdesaan tadi. Sejak saat itu, publik tak lagi disuguhi aneka silang sengketa antar kedua parpol ini terkait program pendamping desa.
Rupanya, kegagalan untuk mengaplikasikan salah satu judul lagu Bang Haji Rhoma, “adu domba” antara PKB vis a vis PDIP tak menyurutkan langkah elit fasilitator Eks.PNPM untuk terus mengganggu laju program “Desa Membangun Indonesia” yang dicanangkan Kemendesa. Hal ini tampak dari upaya mereka menggalang kekuatan di luar parpol pendukung pemerintah dengan cara memprovokasi kepala daerah se Jawa melalui satkernya masing-masing untuk melakukan penolakan terhadap proses rekrutmen. Dan siapapun paham, bahwa Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur berafiliasi kepada partai yang tidak mendukung pemerintah.
Manuver paling mutakhir yang dilancarkan elit Eks. PNPM adalah dengan melibatkan parpol pendukung pemerintah yang lain yang memiliki jaringan media massa cukup mapan. Hal ini tampak dari tayangan program Metro Realitas edisi 17/5/16 berjudul “Noda Perekrutan Pendamping Desa”. Tanpa mengurangi respek penulis terhadap profesionalisme jurnalis Metro TV yang bertugas, penulis menilai bahwa tayangan tersebut sangat tendensius, untuk tidak mengatakan telah terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik.
Terlepas dari ada tidaknya pelanggaran kode etik pada program Metro Realitas termaksud, publik juga tidak mudah menutup mata pada fakta bahwa Realitas-nya pemilik Metro adalah Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Menarik untuk dicermati seperti apa kelanjutan dari babak baru muslihat segelintir elit Eks. PNPM ini untuk menghambat program “Desa Membangun Indonesia”. Dan apakah Bang Surya Paloh akan masuk ke dalam jebakan batman-nya elit Eks. PNPM?
“Politik” Korbankan Anak Buah