Mohon tunggu...
Ata Menaka
Ata Menaka Mohon Tunggu... -

Hobi baca, Sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengincar Kursi Ahok

18 Maret 2015   21:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:27 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

-Ata Menaka-

TAK bisa disangkal bahwa hak angket yang dilancarkan DPRD DKI Jakarta didesain agar berujung pada pemakzulan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Wakil Ketua DPRD DKI Mohammad Taufik dari Gerindra terangan-terangan mengatakan akhir dari angket itu memang akan memakzulkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.

Masih menurut Taufik, jika Ahok lengser, Gerindra tak akan mengajukan kadernya menjadi Gubernur DKI tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada PDIP sebagai partai pemenang pemilu di DKI. (Antaranews.com, 18 Maret 2015).

Jadi jelas dan serius bahwa paling tidak Gerindra punya agenda bahwa hak angket DPRD DKI itu untuk memakzulkan Ahok. Tetapi benarkah PDIP ingin mendapatkan ‘durian runtuh’ dengan pemakzulan Ahok? Dalam politik apa saja bisa terjadi. Asumsi itu bisa saja benar karena terbukti sampai hari ini PDIP belum secara tegas mengatakan apa agendanya dengan hak angket tersebut. Apakah PDIP mempunyai agenda tersembunyi juga ingin ikut mendepak Ahok dari kursi Gubernur DKI?

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jhonny Simanjuntak di Gedung DPRD DKI Jakarta membantah ingin menggulingkan Ahok lewat hak angket APBD DKI itu kemudian mencalonkan Boy Sadikin menduduki singgasana menggantikan Ahok.

"Kami tidak berpikir menggunakan angket ini untuk pemakzulan Ahok dan menjadikan Boy sebagai gubernur. Itu jauh panggang dari api," kata Jhonny.

Fraksi PDIP mendorong penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dalam penyusunan RAPBD DKI 2015 yang didasarkan atas dikirimkannya draf anggaran daerah tersebut oleh Pemerintah Provinsi ke Kemendagri.

Namun PDIP tidak secara tegas mengatakan apa ujung dari hak angket tersebut. Jika terbukti Ahok melanggar UU karena mengirim RAPBD DKI ke Kemendagri yang bukan hasil pembahasan pemerintah dan DPRD, lalu sanksi apa yang disiapkan atau diusulkan PDIP untuk Ahok? Apakah PDIP terus berselancar mengikuti arus di DPRD? Umumnya hak angket memang berujung pada pemakzulan karena hak angket adalah hak penyelidikan. Setelah menyelidik dan menemukan pelanggaran berat terhadap melanggar UU, lalu Ahok mau diapain?

Namun untuk sampai ke pemakzulan, tak semudah yang dibayangkan. Semula memang DPRD sangat bergairah karena semua anggota DPRD meneken usul angket tersebut. Artinya dalam bayangan jalan akan mudah dan mulus menuju pemakzulan Ahok. Namun setelah DPP Partai NasDem memerintahkan Fraksi NasDem di DPRD DKI menarik dukungan atas angket tersebut, sejumlah partai lain pun menyusul.PKB jelas tak ingin angket berujung pada pemakzulan Ahok. Ketua Umum PAN yang baru Zulkifli Hasan pun memerintahkan PAN DKI tarik diri dari hak angket. Jangan membuat gaduh. Rakyat sudah bosan dengan politik gaduh. Ketua Umum Golkar Agung Laksono pun sami mawon memerintahkan Fraksi Golkar DPRD DKI tarik diri dari angket tersebut. PPP pun sama. Hanura juga sudah menegaskan sikap bahwa angket tidak untuk menjatuhkan Ahok.

Yang mengherankan PDIP tetap membiarkan anggotanya berselancar dalam angket tersebut. Tidak ada perintah tarik. Memang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri suka bermain di last minute. Tetapi dengan membiarkan terlampau lama tidak mengambil sikap, lapangan terlanjur becek, gosong dan liar.

Memang mulai terasa angket-ria DPRD DKI tidak semeriah di saat awal. Sementara di sini lain laporan Ahok ke KPK dan Polda Metro Jaya mengenai ada dana siluman dalam APBD DKI tahun 2014 dan RAPBD 2015 terus didalami. Bahkan polisi sudah mengancar-ancar adanya calon tersangka dalam APBD DKI tahun 2014 khusus untuk mark up dana UPS. Kabarnya sebentar lagi polisi pun menyasar ke DPRD.

Dalam perselisihan Ahok dan DPRD DKI pihak yang paling mendapat sorotan adalah PDIP. Suka atau tidak, partai pemenang Pemilu 2014 ini dinilai mempunyai agenda tersembunyi. PDIP bisa saja membantah. Tetapi sikap diam dan tak jelas dengan ending hak angket itu timbul spekulasi bahwa PDIP bermain di dua kaki. Walau PDIP mengatakan tak menyiapkan pengganti Ahok, tetapi bisa ‘lain di bibir lain di hati’. PDIP bisa dituding menggunakan tangan fraksi lain untuk menyikut Ahok kemudian PDIP ketiban pulung menggantikan posisi Ahok. Siapa tak tergiur dengan posisi Gubernur DKI Jakarta?

Sisa-sisa manuver DPRD DKI masih terjadi karena merasa masih ada dukungan PDIP. Jika Megawati secara tegas memerintahkan Fraksi PDIP menarik diri dari hak angket, maka angket itu pasti layu dan tak akan lagi berkembang. Tetapi bisa juga ini adalah cara PDIP atau Megawati memberi pelajaran kepada Ahok sebelum akhirnya PDIP benar-benar menarik diri dari angket. Pelajaran itu penting agar Ahok juga tahu bahwa dukungan utama dia adalah PDIP sehingga Ahok harus mampu mengkapitalisasinya di kemudian hari. Tetapi di pihak lain PDIP dinilai telah membiarkan politik gaduh terus berkembang dan menguras energi rakyat. PDIP jangan menutup mata bahwa dengan membiarkan sengkarut antara Ahok dan DPRD terus berkecamuk maka pegawai kecil di DKI Jakarta yang menderita tiga bulan tidak menerima honor. Dimana keberpihakan PDIP terhadap rakyat kecil?

Ahok adalah politisi langka yang berani ‘melawan’ DPRD. Dia tidak mau didikte dewan dalam soal titip menitip anggaran. Untuk itu, anak buahnya yang dianggap suka-suka mengubah anggaran karena menerima titipan entah dari siapa, harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Sistem e-bugeting yang dipelopori Ahok semestinya diadopsi pemerintah pusat menjadi sistem nasional APBN serta semua daerah. Dengan sistem tersebut rakyat tahu persis anggaran dan peruntukannya. Jika dengan sistem e-bugeting Ahok bisa tahu masuknya anggaran siluman sebesar Rp12,1 triliun, maka jika itu menjadi sistem nasional bisa dipastikan anggaran setiap daerah akan sepenuhnya digunakan bagi masyarakat. Tidak ada lagi dana yang diselundupkan ke dalam APBD untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Siapa yang menyusupkan anggaran akan mudah terdeteksi. Artinya dana APBD sepenuhnya digunakan untuk rakyat.

Ahok sendiri mengaku sebagai gubernur yang ‘gila’. Negeri ini membutuhkan lebih banyak ‘orang gila’ seperti Ahok. DPRD DKI semestinya bersyukur memiliki seorang gubernur yang ‘gila’ karena dia akan membuat banyak hal di ibu kota ini. Kecuali kita memang tidak ingin Jakarta ini berubah ke arah yang lebih baik.

Soal komunikasi Ahok yang keras (bukan kasar) itu hanya gaya. Tak perlu mengukur Ahok dari gaya komunikasinya, tetapi kinerjanya. Apalagi kelak dengan sistem e-bugeting saat semuanya menjadi serba transparan, kata-kata Ahok seperti perampok anggaran, maling anggaran, koruptor tidak akan terdengar lagi, karena semuanya sudah terbuka.

Persoalannya pada public trust. Menurut survei masyarakat lebih percaya Ahok daripada DPRD. Dan kepercayaan itu muncul karena Ahok dinilai bersih. Ahok tegasdan berani karena dia bersih. Hanya itu modalnya. Sebenarnya tidak susah kan, kalau semuanya sama-sama bersih dan tulus bekerja untuk rakyat.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun