-Ata Menaka-
SUDAH berkali-kali dan bertahun-tahun DPR dikritik ‘tak tahu diri’ tetapi semakin dikritik semakin ‘tak tahu diri’. Dari tahun ke tahun tak ada satu pun warga masyarakat melalui lembaga survei memberi apresiasi kepada DPR. Citra lembaga wakil rakyat itu tetap saja buram sebagai salah satu lembaga paling korup.
Kini pemerintahan baru Presiden Joko Widodo kian memanjakan DPR yang punya citra bobrok itu. Pada APBN pertama pemerintahan Jokowi, APBNP-2015 yang baru saja diketok pada Jumat (13/2) ada tambahan anggaran untuk DPR Rp1,6 triliun. Rinciannya, Rp1 triliun untuk anggota DPR dan Rp600 miliar untuk tambahan bagi Setjen DPR.
Dana Rp1 triliun itu akan dibagi kepada 560 anggota DPR. Artinya masing-masing anggota DPR akan mendapat Rp1,78 miliar. Dana itu langsung ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan. Dana itu untuk membiayai 5 staf ahli dan 2 staf rumah aspirasi serta mengontrak kantor rumah aspirasi.
Menurut kesepakatan, setiap tenaga ahli akan digaji Rp10 juta per bulan dan staf sekretariat rumah aspirasi digaji Rp7,5 juta per bulan. Dana tersebut tentu saja tidak termasuk gaji dan berbagai fasilitas yang sudah diterima sebagai hak anggota DPR dan semua ‘tunjangan kehormatan’ sebagai wakil rakyat. Untuk gaji dan ‘tunjangan kehormatan sudah mempunyai pos anggarannya tersendiri.
DPR tentu saja mempunyai landasan memasukkan dana aspirasi tersebut dalam APBNP 2015. Rujukannya adalah Pasal 210 dan Pasal 213 Tata Tertib DPR yang menyebutkan bahwa anggota DPR bisa memiliki rumah aspirasi di daerah pemilihannya yang dibiayai negara.
Tentu saja kita paham, karena DPR bisa menyusun aturan apa saja untuk membenarkan langkah mereka menggerogoti uang rakyat. Bayangkan uang negara bisa dikucurkan sesukanya hanya dengan landasan Tata Tertib, bukan UU. Nanti mereka bisa menyelundupkan biaya-biaya lain untuk kepentingan mereka melalui Peraturan Tata Tertib, bukan UU.
Jadi jangan heran surplus dana akibat kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagian dialokasikan untuk pundi-pundi DPR. Kinerja jeblok tetapi tetap saja mendapat privilese dan dimanjakan. Kemarin DPR berteriak-teriak menolak kenaikkan harga BBM dan ‘mengancam’ akan mengajukan interpelasi BBM. Bahkan interpeasi itu sudah ditandatangani 240 anggota dewan dan siap dibawa ke rapat paripurna DPR pada Desember lalu. Kini interpelasi BBM redup karena ada kompensasi dana rumah aspirasi. Tentu saja bisa ada alasan bahwa harga BBM sudah turun kembali, tetapi mudah ditebak atau dianalisis bahwa bukan mustahil intepelasi BBM itu hanya menjadi alat bargaining DPR dengan pemerintah. Dana rumah aspirasi pun mengalir....
Apakah setelah ada dana aspirasi itu, kinerja akan meningkat? Tidak ada korelasinya. Ruang rapat paripurna DPR dan rapat komisi tetap saja seperti DPR periode-periode sebelumnya. Yang ada hanya tanda tangan, tanpa kehadiran fisik. Diperkirakan transaksi gelap pun akan tetap marak. APBN akan tetap menjadi bancakan. Makanya kini DPR ramai-ramai nimbrung menggebuk KPK. Semakin reduk KPK dan semakin lembaga dalam antirasuah itu tak bertaring, kian leluasalah wakil rakyat bertransaksi di lorong gelap. Target minimal adalah melumpuhan KPK dengan cara meniadakan senjata pamungkas KPK yakni Hak Menyadap. Jika hak itu tidak bisa dihilangkan, paling tidak dibatasi bahwa menyadap harus melalui putusan atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Harapan bahwa DPR sekarang akan lebih baik adalah omong kosong dan nihil. Revolasi mental yang diharapkan mengubah citra DPR, akan mental sendiri. Budaya transaksional sudah merasuk dan berakar kuat mencengkeram parlemen kita. Partai NasDem yang bercita-cita menghilangkan budaya transaksional, dikhawatirkan malah larut di dalamnya.
Ada seorang anggota DPR dari Jawa Barat yang sudah beberapa periode duduk di Dewan dan disiplin mengikuti semua rapat dan acara di parlemen, mengaku malu dan kecewa dengan wajah-wajah baru DPR. Dia memberi contoh bahwa rapat-rapat di DPR selalu tidak tepat waktu karena keterlambatan anggota dewan. Tamu sudah datang tetapi tuan rumah masih tidur. Contohnya pada rapat paripurna terakhir hari Jumat (13/2) acara dijadwalkan mulai pukul 10.00 WIB tetapi molor sampai pukul 11.30 WIB dibuka dan langsung diskors karena salat Jumat. Rencana dibuka lagi pukul 13.00 ditunda lagi pukul 15.00 dan akhirnya baru dimulai lagi pukul 19.00.Itulah DPR kita yang tak pernah menghargai waktu.
DPR baru hasil Pileg 2014 pun 11-12 alias sami mawon. Larut dalam budaya disiplin rendah dan transaksional. Kini di tengah disiplin yang rendah itu, masing-masing anggota DPR dialiri dana Rp1,78 miliar.
Melihat praktik DPR selama ini mudah ditebak bahwa dana tersebut tidak akan dimanfaatkan secara optimal. Sama seperti tenaga ahli DPR selama ini yang direkrut dari kalangan ‘keluarga’ anggota DPR atau titipan staf Setjen DPR, maka staf ahli tambahan lebih berpeluang dari keluarga sendiri karena dana itu dikelola langsung oleh masing-masing anggota DPR.
Dana untuk membiayai ahli itu dipelesetkan menjadi dana untuk ‘ahli waris’. Luar biasa. Tanggung jawab anggota DPR membiayai keluarganya, kini dialihkan menjadi tanggung jawab langsung oleh negara. Bisa saja anggota DPR itu mengangkat isterinya sebagai tenaga ahli dan adik atau keponakannya sebagai staf sekretariat rumah aspirasi. Begitulah dana APBN mengalir deras kepada anggota DPR dan keluarganya. Apakah ini bualan? Ini praktik yang sudah berjalan.
Masih ada kekhawatiran lain. Rumah aspirasi tentu saja harus disewa. Bukan mustahil, anggota DPR menjadikan rumahnya sendiri sebagai rumah aspirasi. Kelihatan dia sibuk mengurus konstituen sampai rumahnya pun dijadikan markas partai. Tetapi di balik itu ternyata dia menyewakan rumahnya sendiri sebagai rumah aspirasi. Ini pun bukan isapan jempol. Pimpinan DPRD selama ini juga sudah mempraktekkan itu. Mereka mendapat jatah dana ‘rumah jabatan’, maka rumah pribadi mereka pun menjadi dua fungsi sebagai rumah pribadi dan rumah jabatan. Mereka menyewakan rumah pribadinya menjadi rumah jabatan. Dana negara, uang rakyat mengalir lagi ke kantongpara wakil rakyat.
Barangkali DPR kita adalah yang paling mewah di dunia ini. Kinerja rendah, citra buruk, sarat dengan predikat lembaga korup, penuh budaya transaksional, tetapi digaji tinggi dan mendapat fasilitas mewah. Pantas saja banyak orang ingin menjadi anggota DPR, bahkan ada yang sampai gila. Kini tidak sedikit pula yang malu menjadi anggota DPR. Lebih baik menjadi pemulung dan terhormat daripada jadi anggota DPR dan dicaci.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H