SETELAH komisioner KPK memutuskan menyerahkan penanganan kasus Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, para karyawan (aparatur sipil negara) KPK pun bereaksi. Mereka berdemonstrasi di Gedung KPK pada Selasa (3/3) yang menyatakan keberatan kasus Komjen BG diserahkan ke Kejaksaan.
Dalam aksi unjuk rasa itu karyawan KPK menyampaikan tiga tuntutan yakni: Menolak putusan Pimpinan KPK yang melimpahkan kasus BG ke kejaksaan, Meminta Pimpinan KPK mengajukan upaya hukum PK atas putusan praperadilan kasus BG, dan Meminta Pimpinan KPK menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi KPK kepada pegawai KPK.
Saya mengapresiasi heroisme karyawan KPK akan pemberantasan korupsi. Tetapi sekaligus saya kecewa dengan sikap karyawan tersebut. Apresiasi karena kepekaan mereka akan pemberantasan korupsi. Tetapi kekecewaan saya sebenarnya ’siapa sih karyawan KPK? Apakah mereka merasa juga sebagai KPK?
Tentu saja penyerahan kasus BG ke Kejaksaan Agung telah melewati pembicaraan di KPK. Orang-orang KPK yang baru dipilih sebagai pelaksana tugas setelah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto nonaktif karena berstatus tersangka, bukanlah orang sembarangan.
Setelah kalah dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, KPK hendak mengajukan kasasi atas putusan tersebut tetapi ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan alasan putusan praperadilan adalah final dan mengikat. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak meneruskan kasasi KPK atas putusan praperadilan yang memenangkan Komjen BG ke Mahkanah Agung.
Lalu kenapa KPK tidak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA?. Komisioner KPK adalah orang-orang yang sangat paham hukum dan hukum acara. Pemahaman para komisioner KPK itu menurut saya jauh di atas pemahaman karyawan KPK. KPK tahu bahwa hak mengajukan PK hanya dimiliki para terpidana dan atau ahli waris mereka, bukan hak penegak hukum. Dengan alasan itu KPK tidak mengajukan PK karena komisioner KPK tahu aturan acara hukum.
Aksi demonstrasi karyawan KPK seolah menunjukkan mereka adalah bagian dari komisioner KPK, padahal mereka hanyalah tenaga administrasi pendukung aktivitas komisioner KPK. Sebenarnya yang disebut KPK adalah lima komisioner itu, sedangkan karyawan adalah tenaga administrasi PNS pendukung kegiatan komisioner. Jadi karyawan KPK jangan beranggapan kedudukan mereka sama dengan para komisioner.
Jika sekarang karyawan KPK keberatan dengan penyerahan kasus BG ke Kejaksaan, saya khawatir kelak mereka juga bisa berdemonstrasi mengajukan desakan agar komisioner KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka. Atau di saat lain mereka unjuk rasa mendesak agar seseorang tidak boleh dijadikan tersangka. Atau di waktu lain karyawan KPK gelar rapat akbar mendesak agar mereka harus dilibatkan dalam gelar perkara korupsi seseorang. Alangkah luar biasanya karyawan KPK? Mereka merasa sebagai karyawan superior karena bekerja di lembaga superbody.
Rasa superioritas itu muncul ketika mereka menanyakan siapa itu Yudi Chrisnandi? Mereka merasa atasan mereka adalah pimpinan KPK dan tidak mau tahu dengan siapapun petinggi lain yang semestinya menjadi atasan mereka juga. Karyawan KPK adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berwawasan jauh lebih luas, bukan petani penggarap yang hanya tahu majikan pemilik tanah.
KPK adalah lembaga negara bukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sehingga karyawannya tunduk pada aturan PNS bukan tata tertib LSM.
Demonstrasi karyawan KPK memprotes menyerahan penanganan kasus BG kepada Kejaksaan menunjukkan tiga hal. Pertama karyawan KPK tidak mempercayai komitmen pimpinan baru KPK memberantas korupsi, kedua karyawan KPK tidak mempercayai Kejaksaan dapat menangani kasus korupsi, dan ketiga adanya kekhawatiran bahwa jika kasus-kasus korupsi diserahkan ke lembaga penegak hukum lain (kejaksaan dan polisi) mereka akan kehilangan pekerjaan. Karyawan KPK jangan merasa bahwa hanya KPK yang bisa memberantas korupsi, sedangkan lembaga lain tidak. Ini bentuk keangkuhan.
Jika karyawan KPK merasa iklim kerja mereka tidak kondusif, kurang nyaman, itu semata karena mereka menempatkan diri sebagai komisioner KPK. Jika mereka merasa hanya sebagai penyokong administrasi, tentu saja tidak perlu perduli dengan gejolak di tingkat pimpinan. Jika mereka mengabdi pada orang dan bukan pada institusi, maka mereka terseret dalam politisasi dan terkotak-kotak. Aneh memang karyawan KPK menilai atasannya keliru menyerahkan kasus BG ke kejaksaan.
Menteri Yuddy Chrisnandi perlu mengevaluasi pimpinan karyawan KPK itu. Jika ada pelanggaran aturan PNS mesti ditindak dan jangan dibiarkan menjadi preseden. Jika pelanggarannya berat maka pecat saja. Itu tidak ada urusannya dengan kriminalisasi KPK. Masih banyak calon PNS yang siap bekerja tanpa mau ikut dalam politisasi lembaga. Mestinya setiap PNS tahu diri bahwa dia bekerja dan loyal dalam sistem pemerintaan untuk lembaga negara bukan mengabdi secara membuta pada orang-orang yang berada dalam lembaga negara tersebut.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H