JAKARTA: Daerah penghasil minyak dan gas (migas) tidak seperti yang dibayangkan merupakan daerah kaya raya sehingga warganya sejahtera. Pengakuan Bupati Tanjung Jabung Barat, Jambi, Usman Ermulan malah mengagetkan.
‘’Daerah-daerah penghasil minyak dan gas seolah diperlakukan sebagai pengemis yang meminta sedekah kepada perusahaan minyak dan gas. Selama ini tidak ada transparansi dalam pengelolaan migas. Daerah penghasil migas juga sama sekali tidak diberitahu jumlah lifting di daerahnya,’’ kata Usman.
Menurut Usman Ermulan, semestinya gubernur, bupati dan walikota daerah penghasil migas terlebih dahulu berbicara secara terbuka dan transparan dengan para pengusaha migas di daerahnya serta pemerintah pusat mengenai lifting migas, setelah itu barulah dibahas mengenai bagi hasil.
‘’Selama ini kita tidak tahu liftingnya seperti apa, dan kami seolah-olah sebagai pengemis yang datang ke Pusat minta sedekah atas hasil migas yang diambil dari daerah kami. Ini aneh. Kami mestinya tahu lifting minyak dan gas di daerah kami, tidak sekadar bagi hasilnya,’’ kata Usman di sela-sela pertemuan Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) di Jakarta, Kamis (26/2).
Usman mengapresiasi perubahan FKDPM menjadi Asosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM) dengan Ketua Umum Awang Faroek, Gubernur Kalimantan Timur. Menurut Usman, dengan menjadi asosiasi diharapkan bargainingnya akan lebih kuat.
Bupati Tanjung Jabung Barat itu mengatakan, bukan rahasia lagi bahwa hasil produksi migas per hari dari perusahaan migas tidak dilaporkan sebagaimana mestinya. Ada data yang berbeda dari ril produksi per hari dengan laporan yang diberikan ke Pusat.
‘’Kami di daerah sama sekali tidak diberikan laporan produksi migas per harinya berapa barel, tetapi jangan dikira kami tidak tahu dan tidak punya data. Karena itu saya meminta agar yang pertama dibahas adalah soal lifting, berapa barel per hari versi perusahaan dan berapa barel per hari versi data yang dimiliki masing-masing daerah penghasil migas. Persoalan daerah tidak tahu persis lifting di daerahnya itu terjadi di hampir semua daerah penghasil migas, bukan hanya di Tanjung Jabung Barat,’’ kata mantan anggota DPR RI itu.
Usman menceriterakan di kabupaten yang dipimpinnya ada perusahaan migas memiliki satu sumur dengan produksi sekitar 750 barel per hari. Tetapi ada pula perusahaan yang memiliki 212 sumur dengan total produksi 31 ribu barel per hari. Itu artinya rata-rata tiap sumur tidak sampai 200 barel per hari.
‘’Kalau alasannya sebagian sumur sudah tidak lagi ekonomis dan rugi ya lepaskan supaya daerah bisa kelola,’’ kata Usman.
Dia juga mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil migas tidak lebih baik dari daerah yang bukan penghasil migas. Salah satu penyebabnya adalah alokasi dana alokasi umum (DAU) untuk daerah penghasil migas biasanya dipotong dengan alasan adanya dana bagi hasil, sementara daerah bukan penghasil migas mendapatkan DAU utuh.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H