Jiwa-jiwa yang lelah itu berbaring diatas bau pepohonan, bau dedaunan kering, desir angin, kicau burung, dan harapan. Mata dan mata. Tanpa suara.
Kadang hanya helaan nafas dan jantung yang beradu deru. Menjelajahi pikiran masing-masing.
Tawar-menawar kemungkinan, bagaimana jika ini-itu….
Dibawah naungan belantara, dibawah naungan langit abu-ungu-biru-emas, kulit dan kulit bergesekan, tanpa bicara kami tau kami beradu rasa yang sama.
Aku tidak ingin memilikinya, toh dia sudah menjadi bagian dari memorabilia yang akan mendampingiku sampai kelak nafasku tidak lagi berisi udara.
Apa yang kuinginkan? Entah….
Sejauh ini inginku adalah membiarkan sesuatu yang disebut dengan ‘rasa’ itu meliar menjelma kedalam segala bentuk pertanda yang aku tidak peduli apakah dia mengerti akan segala tanda yang kumiliki atau tidak.
Aku bersumpah, hari itu aku melihat langit terindah dalam 20 tahun hidupku.
Aku berdoa, semoga kelak aku akan menemui langit yang lebih indah dari ini.
Jika kelak kau membaca suratku, yang ingin kuberitahukan padamu adalah aku sungguh ingin melihatmu bahagia kelak dengan cara yang baik. Kau begitu baik.
Begitu juga aku, ingin bahagia dengan cara yang baik.