Beberapa tahun terakhir saya sering mendengar kabar tentang salah satu orangtua murid dikelas  anak saya yang hidup dengan penuh perjuangan. Awalnya saya belum tahu pasti kondisinya karena belum sempat berbincang dan melihat sendiri apa yang diceritakan beberapa teman sesama ortumurid. Hingga akhirnya saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke kediamannya dan mengobrol santai sambil menghabiskan sore yang saat itu lumayan sejuk.
Namanya bu Mulyati.  Beliau menghabiskan waktunya untuk berjualan sambil membesarkan anak-anaknya seorang diri. Hari-hari yang penuh perjuangan itu dimulai beberapa tahun terakhir sejak suaminya terkena musibah kecelakaan lalu lintas sepulang kerja. Kejadian yang tidak diharapkan tersebut terjadi di malam hari dan menyebabkan sang suami tidak bisa bekerja lagi. Kejadiannya sungguh di luar dugaan, suami bu Mulyati yang sedang mengendarai sepedah motor tertabrak mobil yang dikendarai oleh seorang anak berusia belia (kurang lebih 13-14 tahun ) yang sedang belajar menyetir. Entah karena cemas atau apa tiba-tiba mobil tersebut menabrak dan menyebabkan kelumpuhan pada suami bu  Mulyati.
Saat ini bu Mulyati sudah tidak tinggal satu rumah lagi dengan suaminya. Karena keterbatasan waktu dan tenaga bu Mulyati untuk mengurus suaminya yang sakit, sang suami dibawa kembali oleh pihak keluarganya. Hal ini bukan tanpa alasan tapi karena bu Mulyati harus berjualan mencari nafkah untuk menghidupi dirinya, bapaknya, dan tiga anaknya yang tinggal bersamanya.
Sehari-harinya bu Mulyati berjualan di warung yang beliau dirikan di samping rumahnya. Mulai subuh bu Mulyati sudah harus bekerja menyiapkan segala sesuatunya. Kebetulan tempat tinggalnya terletak tidak jauh dari stasiun kereta api Purwakarta, sehingga di sekitar rumahnya selalu nampak hiruk pikuk orang yang menuju stasiun maupun yang hanya sekedar mengambil jalan melewati warungnya. Kadang beliau berjualan kupat tahu, lotek, karedok, bala-bala dan beberapa jenis gorengan lainnya. Menu nya sering berganti  sesuai kondisi pasar dan kesanggupan mengolah menu makanan dari bu Mulyati sendiri. Siang harinya berlanjut ke menu jajanan anak seperti cireng isi yang digoreng dadakan sesuai pilihan rasa pembelinya dan berbagai jenis minuman dingin.
Pendapatan bu Mulyati dari hasil jualannya sebetulnya sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya, dengan 3 orang anak dan seorang bapak yang sudah berumur dan sudah sakit-sakitan yang tinggal bersamanya, beliau sebetulnya sangat kesulitan. Sebetulnya bu Mulyati me miliki 4 orang anak, hanya saja anaknya yang pertama sudah menikah dan tidak tinggal lagi bersamanya.
Hal yang dirasa paling sulit bagi hu Mulyati adalah memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Saking sulitnya, beliau harus merelakan dua orang anaknya putus sekolah. Anaknya yang kedua bernama Ari, sekarang berusia 17 tahun, seharusnya sedang menikmati pendidikan SMA dan anaknya yang ke 3 seorang remaja cantik bernama Resti, juga harus memendam keinginannya untuk melanjutkan ke SMP. Resti baru berusia sekitar 13 tahun dan baru saja lulus dari SD tahun lalu.
Saya dan wali kelas anak saya pernah bertanya, "kenapa ibu harus membiarkan anaknya putus sekolah, padahal kan bisa memanfaatkan Surat Keterangan Tidak Mampu?" Beliau menjawab, "sebetulnya anak saya sudah diterima di SMP Negeri 1, hanya saja saya tidak sanggup membiayai kebutuhan sehari-harinya ketika ada tugas dan memberi uang jajan untuknya.  Padahal gurunya saja sudah mendatanginya dan meminta beliau untuk menyuruh anaknya kembali ke bangku sekolah. Tapi bu Mulyati tetap mengatakan bahwa beliau tidak sanggup, bahkan untuk makan saja sudah sangat kesulitan. Kasihan sekali nasib beliau. Saya pun mulai mengharu biru ketika mendengar alasan tersebut. Dalam hati saya berkata, "seandainya saya punya banyak rejeki lebih, ingin rasanya membantunya".
Si anak bungsu, sebut saja Nda, saat ini sedang duduk di kelas 5 SD dan kebetulan satu kelas dengan anak saya. Anaknya memang baik dan tidak pernah banyak tingkah. Setiap bertemupun Nda selalu menyapa sembari menyambar tangan saya dan menyalami saya.Â
"Oh kasian sekali anak ini, hidupnya sungguh berbeda dengan apa yang dijalani anak-anak sebayanya. Saya pun tak berani membayangkan apa yang akan terjadi dengan pendidikannya setelah tamat SD. Apakah Nda bisa melanjutkan ke SMP, atau akan seperti kedua kakaknya.