Mohon tunggu...
Akhmad Zaenuddin
Akhmad Zaenuddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bakwan dalam genggaman

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Menyidik seperti Membuat Fiksi

21 Oktober 2013   04:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:14 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tak bisa dipungkiri, ada faktor lain --yang menjadi faktor utama-- yang menyebabkan penegak hukum bagai keledai, yang terjerambab pada lubang yang sama. Ada faktor X yang menjadi kunci daripada lemahnya aturan hukum yang ada saat ini. Atau, yang semestinya bisa menutupi kelemahan-kelemahan aturan yang ada saat ini.

Lemahnya tingkat profesionalisme aparat penegak hukum, kiranya tempat tepat untuk kita arahkan jari telunjuk kita. Bekerja tanpa berpegang pada dasar. Melaksanakan tugas dengan prinsip "sak enake udele dewe." Tanpa berpegang pada aturan dan dasar fakta yang kuat, sekonyong-konyong menjebloskan orang ke dalam penjara. Mengekang hak asasi paling dasar manusia, hak untuk bebas.

Kita mungkin perlu bertanya --dengan pertanyaan yang mendasar, bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan tindak pidana bisa dijadikan tersangka. Padahal, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka saja hukum menentukan, penyidik setidaknya harus memiliki dua alat bukti --alat bukti ini bisa diperolah dari pengakuan orang yang disangka, orang yang menyaksikan, surat-surat, pendapat ahli dan petunjuk yang diperoleh dari barang bukti. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan suatu apapun bisa dibuatkan berkas hingga P-21. Metode apa yang dipakai oleh aparat? Mengarang fiksikah?

Membuat alur cerita, menentukan siapa tokoh, setting dan segala macamnya. Membuat proses penyidikan hanya berdasar imajinasi semata. Dengan lancang menutup mata akan keberadaan undang-undang dan segala teori hukum yang ada.

Fakta terjadi menyebutkan, kerap kali dalam mencari alat bukti, aparat memaksa seseorang yang diperiksa untuk mengaku sebagai pelaku kejahatan. Ini seperti guyonan, kehebatan polisi kita adalah bisa membuat kelinci mengaku sebagai beruang. Dipukuli, disiksa dan diintimidasi dululah kelinci tersebut untuk kemudian menuruti kehendak pak Polisi. Polisi seperti sutradara, yang sekehendaknya menentukan siapa tokoh yang pantas untuk cerita yang ia buat.

Keacuhan aparat penegak hukum akan hak asasi manusia pun menjadi biang keladi yang tak kalah kurang ajarnya. Hak seseorang untuk tidak disangka melakukan kejahatan sebelum adanya keputusan pengadilan, hak seseorang untuk didampingi kuasa hukum dan lainnya kerap hanya dijadikan teks mati di dalam kitab-kitab hukum. Dengan keacuhan ini, aparat kerap menjadikan seorang terperiksa sebagai obyek. Sesuka ia mau memperlakukan seperti apa.

Dan tentu, masih banyak kekonyolan-kekonyolan lain yang jika kita ungkit satu per satu kian membuat hati kita teriris. Bahwa dalam menyelidiki dan menyidik perkara hanya dijadikan alasan untuk menyenangkan atasan, atau untuk menaikkan jabatan kiranya tak kurang menyakitkannya jika dijabarkan.

Dengan demikian, untuk menghindarkan kesalahan yang sama, sudah selayaknya dan seharusnya dilakukan pembenahan. Selain pada sisi pembenahan aturan hukum, pembenahan serta pembangunan pada sisi aparat penegak hukum menjadi aspek penting yang mesti difokuskan.

Pembenahan aparat hukum kiranya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Kepala Kepolisian RI mendatang. Bahwa banyak penyakit di lembaga yang (akan) dipimpinya adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Bahwa hal tersebut perlu untuk segera diobati adalah hal yang tak bisa dipungkiri pula.

Menindak tegas siapapun anakbuahnya yang terbukti melakukan penyelewengan dalam menjalankan tugas tak boleh ditawar-tawar. Tak perlu tanggung-tanggung, hukum saja mereka yang dengan seberat-beratnya. Hal ini setidaknya bisa menjadi efek jera serta dijadikan alat refleksi aparat lainnya untuk bekerja dengan benar dan penuh tanggungjawab.

Beliau pun harus bisa menjamin bahwa siapapun aparat yang ditempatkan sebagi penyidik adalah polisi-polisi terpilih. Mereka adalah orang-orang kompeten yang dibekali dengan ahlak dan akal. Ahlak membuat mereka bisa terhindar dari potensi untuk abuse of power. Sementara akal membuat mereka bisa menjabarkan aturan-aturan hukum dengan benar, dengan dasar teori dan keilmuan yang dimiliki.

Itupun dengan catatan, jika beliau ingin namanya dicatat dengan tinta emas di lembaran sejarah Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun